Pengamat: Pertagas tepat sebagai agregator gas
30 Oktober 2015 08:46 WIB
Penyaluran Gas Pertagas Seorang operator mengecek stasiun meter PT. Pertamina Gas (Pertagas) di area Pembangkit Jawa Bali (PJB) Gresik, Jawa Timur, (8/5/2015). (arsip/ANTARA FOTO/M Risyal Hidayat)
Jakarta (ANTARA News) - Direktur Eksekutif Indonesian Resourcess Studies (IRESS) yang juga pengamat industri pertambangan, Marwan Batubara berpendapat BUMN seperti Pertamina Gas (Pertagas) paling tepat menjadi agregator gas di Tanah Air.
"Yang paling bagus dan konstitusional, itu adalah harus badan usaha milik negara (BUMN). BUMN itu memegang hak monopoli alami. Dialah satu-satunya yang punya hak untuk itu. Yang tepat Pertagas," kata Marwan kepada pers di Jakarta, Jumat.
Pertagas, sebagai anak perusahaan PT Pertamina (Persero), lebih berhak menjadi agregator gas dan melakukan monopoli alami, karena negara masih menguasai 100 persen saham perusahaan ini.
Menurut dia, jika pemerintah tetap ngotot memberikannya ke BUMN lain, maka saham BUMN tersebut harus dimiliki negara. Kalau ada saham asing di dalam BUMN tersebut maka harus membeli ulang (buy back) saham yang telah dikuasai asing.
"Buy back" saham itu bukan hal yang mudah, karena pemerintah harus kembali mengeluarkan dana, dan itu sangat kecil kemungkinannya, sehingga yang paling baik, adalah memberikannya ke Pertagas.
Alternatif lainnya, lanjut Marwan, menyinergikan BUMN di sektor minyak dan gas (migas) dalam satu holding atau induk perusahaan. Untuk holding sebaiknya Pertamina, karena mempunyai pengalaman dalam mengelola sejumlah anak perusahaan.
"Pertamina itu menjadi holding-nya. Di bawahnya ada Petamina Hulu Energi, ada Pertamina Refinery, ada yang misalnya mengurusi soal hilir, panas bumi. Lalu ada juga yang ngurusi gas, di mana Pertagas dan PGN itu digabungkan dan harapannya juga sambil digabungkan itu di-buy back sahamnya sebagaian besar," kata Marwan.
Kemudian, SKK Migas pun masuk ke holding Pertamina dan tidak perlu harus membuat BUMN baru untuk menangani gas.
"Jangan bikin BUMN sendiri. Ini saya kira harus secara gamblang disampaikan ke pemerintah dan DPR. Saya meminta dijalankan, karena ini amanat konstitusi," katanya.
"Yang paling bagus dan konstitusional, itu adalah harus badan usaha milik negara (BUMN). BUMN itu memegang hak monopoli alami. Dialah satu-satunya yang punya hak untuk itu. Yang tepat Pertagas," kata Marwan kepada pers di Jakarta, Jumat.
Pertagas, sebagai anak perusahaan PT Pertamina (Persero), lebih berhak menjadi agregator gas dan melakukan monopoli alami, karena negara masih menguasai 100 persen saham perusahaan ini.
Menurut dia, jika pemerintah tetap ngotot memberikannya ke BUMN lain, maka saham BUMN tersebut harus dimiliki negara. Kalau ada saham asing di dalam BUMN tersebut maka harus membeli ulang (buy back) saham yang telah dikuasai asing.
"Buy back" saham itu bukan hal yang mudah, karena pemerintah harus kembali mengeluarkan dana, dan itu sangat kecil kemungkinannya, sehingga yang paling baik, adalah memberikannya ke Pertagas.
Alternatif lainnya, lanjut Marwan, menyinergikan BUMN di sektor minyak dan gas (migas) dalam satu holding atau induk perusahaan. Untuk holding sebaiknya Pertamina, karena mempunyai pengalaman dalam mengelola sejumlah anak perusahaan.
"Pertamina itu menjadi holding-nya. Di bawahnya ada Petamina Hulu Energi, ada Pertamina Refinery, ada yang misalnya mengurusi soal hilir, panas bumi. Lalu ada juga yang ngurusi gas, di mana Pertagas dan PGN itu digabungkan dan harapannya juga sambil digabungkan itu di-buy back sahamnya sebagaian besar," kata Marwan.
Kemudian, SKK Migas pun masuk ke holding Pertamina dan tidak perlu harus membuat BUMN baru untuk menangani gas.
"Jangan bikin BUMN sendiri. Ini saya kira harus secara gamblang disampaikan ke pemerintah dan DPR. Saya meminta dijalankan, karena ini amanat konstitusi," katanya.
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015
Tags: