Tokoh Aceh berbicara: bentrok Singkil karena jurang ekonomi
17 Oktober 2015 19:38 WIB
Aparat Kepolisian dan TNI berjaga di lokasi pasca kerusuhan di Desa Suka Makmur, Kecamatan Gunung Meriah, Kabupaten Aceh Singkil, Aceh (ANTARA FOTO/Moonstar Simanjuntak)
Tapaktuan, Aceh (ANTARA News) - Tokoh masyarakat barat selatan, Jasman ST menilai bentrok antarwarga di Kabupaten Aceh Singkil, Selasa lalu, bukan dipicu oleh masalah agama melainkan lebih karena kesenjangan ekonomi yang dalam di daerah ini.
"Persoalan kesenjangan ekonomi ini bagaikan bom waktu yang sudah cukup lama dikeluhkan oleh mayoritas masyarakat setempat, tapi tidak pernah terangkat ke permukaan," kata anggota DPRK Aceh Selatan kepada Antara, Sabtu.
Jasman menunjuk perusahaan-perusahaan perkebunan sawit di daerah Aceh Singkil yang sebagian besar mempekerjakan orang-orang luar daerah Singkil, bukan warga lokal.
Padahal, ujarnya, perusahaan-perusahaan sawit berskala besar yang beroperasi di Aceh Singkil ini telah mengakibatkan semakin menyempitnya ketersediaan lahan pertanian dan perkebunan bagi penduduk lokal baik untuk bercocok tanam atau membuka usaha.
Sebagian besar wilayah Kabupaten Aceh Singkil berupa lahan perkebunan sawit di mana mayoritas dikelola perusahaan-perusahaan besar dari luar daerah, dan hanya sebagian kecil lahan yang dikelola penduduk setempat.
"Artinya bahwa hampir mayoritas masyarakat Aceh Singkil itu menggantungkan mata pencahariannya pada sektor perkebunan sawit, baik menjadi buruh di perusahaan maupun membuka kebun sendiri. Nah, ketika dalam pelaksanaan di lapangan ternyata cukup banyak masyarakat pribumi yang tidak terakomodir, ini tentu bagian dari persoalan dari banyak persoalan-persoalan lainnya yang menjadi pemicu sehingga terjadinya gejolak," ujar legislator dari Partai Hanura ini.
Seharusnya, kata dia, persoalan kesenjangan ekonomi seperti itu mendapat perhatian serius Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil, bukan justru membiarkan benih-benih konflik itu tumbuh.
Jasman juga mempertanyakan kebenaran informasi yang sudah sangat santer diperbincangkan dalam masyarakat, baik di Aceh Singkil maupun di luar daerah, mengenai perjanjian politik antara Bupati dan Wakil Bupati Aceh Singkil, Safriadi (Oyon) dan Dulmusrid saat masih menjadi calon bupati dan calon wakil bupati pada Pilkada 2012 dengan penduduk beragama Kristen.
"Meskipun sejauh ini saya belum berani memastikan bahwa perjanjian politik ini benar ada dibuat oleh Bupati Safriliadi saat dia masih calon bupati dengan tokoh umat Kristiani di Aceh Singkil. Tapi, jika perjanjian ini benar-benar ada, maka Bupati Aceh Singkil bisa dikatakan termasuk salah satu pihak yang telah memicu terjadinya bentrokan antar kelompok warga di Aceh Singkil," tegas Jasman.
Sebab, kata Jasman, sebagai calon bupati dan calon wakil bupati yang apabila terpilih maka akan menjadi Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan memimpin seluruh rakyat Aceh Singkil, keputusan membuat perjanjian politik dengan tokoh umat Kristiani ini adalah langkah keliru.
"Seharusnya mereka tidak mencampuradukkan persoalan politik dengan agama, sebab agama tidak boleh dipolitisir serta diintervensi. Terkait persoalan pendirian rumah ibadah umat Kristiani di Aceh Singkil, telah ada peraturan yang mengatur tentang itu baik mengacu pada UU Pemerintah Aceh karena Provinsi Aceh ada kekhususan ataupun mengacu pada Qanun Aceh Singkil. Sejauh sesuai dengan aturan yang ada, rakyat Aceh Singkil tidak pernah melarang pendirian rumah ibadah umat agama tertentu," tegas dia lagi.
Jasman meminta masyarakat, khususnya tokoh-tokoh politik di luar daerah, untuk tidak memberi penilaian secara sepihak menyangkut bentrok Aceh Singkil, dan tidak langsung menyimpulkan kelompok tertentu bersalah.
"Sebelum berkomentar dan mengambil kesimpulan, hendaknya kami harapkan lihatlah rangkaian persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat setempat dari sejak awal secara utuh, sehingga masukan informasi yang diterima pun lengkap sesuai bukti dan fakta-fakta di lapangan," kata Jasman.
"Persoalan kesenjangan ekonomi ini bagaikan bom waktu yang sudah cukup lama dikeluhkan oleh mayoritas masyarakat setempat, tapi tidak pernah terangkat ke permukaan," kata anggota DPRK Aceh Selatan kepada Antara, Sabtu.
Jasman menunjuk perusahaan-perusahaan perkebunan sawit di daerah Aceh Singkil yang sebagian besar mempekerjakan orang-orang luar daerah Singkil, bukan warga lokal.
Padahal, ujarnya, perusahaan-perusahaan sawit berskala besar yang beroperasi di Aceh Singkil ini telah mengakibatkan semakin menyempitnya ketersediaan lahan pertanian dan perkebunan bagi penduduk lokal baik untuk bercocok tanam atau membuka usaha.
Sebagian besar wilayah Kabupaten Aceh Singkil berupa lahan perkebunan sawit di mana mayoritas dikelola perusahaan-perusahaan besar dari luar daerah, dan hanya sebagian kecil lahan yang dikelola penduduk setempat.
"Artinya bahwa hampir mayoritas masyarakat Aceh Singkil itu menggantungkan mata pencahariannya pada sektor perkebunan sawit, baik menjadi buruh di perusahaan maupun membuka kebun sendiri. Nah, ketika dalam pelaksanaan di lapangan ternyata cukup banyak masyarakat pribumi yang tidak terakomodir, ini tentu bagian dari persoalan dari banyak persoalan-persoalan lainnya yang menjadi pemicu sehingga terjadinya gejolak," ujar legislator dari Partai Hanura ini.
Seharusnya, kata dia, persoalan kesenjangan ekonomi seperti itu mendapat perhatian serius Pemerintah Kabupaten Aceh Singkil, bukan justru membiarkan benih-benih konflik itu tumbuh.
Jasman juga mempertanyakan kebenaran informasi yang sudah sangat santer diperbincangkan dalam masyarakat, baik di Aceh Singkil maupun di luar daerah, mengenai perjanjian politik antara Bupati dan Wakil Bupati Aceh Singkil, Safriadi (Oyon) dan Dulmusrid saat masih menjadi calon bupati dan calon wakil bupati pada Pilkada 2012 dengan penduduk beragama Kristen.
"Meskipun sejauh ini saya belum berani memastikan bahwa perjanjian politik ini benar ada dibuat oleh Bupati Safriliadi saat dia masih calon bupati dengan tokoh umat Kristiani di Aceh Singkil. Tapi, jika perjanjian ini benar-benar ada, maka Bupati Aceh Singkil bisa dikatakan termasuk salah satu pihak yang telah memicu terjadinya bentrokan antar kelompok warga di Aceh Singkil," tegas Jasman.
Sebab, kata Jasman, sebagai calon bupati dan calon wakil bupati yang apabila terpilih maka akan menjadi Kepala Daerah dan Kepala Pemerintahan memimpin seluruh rakyat Aceh Singkil, keputusan membuat perjanjian politik dengan tokoh umat Kristiani ini adalah langkah keliru.
"Seharusnya mereka tidak mencampuradukkan persoalan politik dengan agama, sebab agama tidak boleh dipolitisir serta diintervensi. Terkait persoalan pendirian rumah ibadah umat Kristiani di Aceh Singkil, telah ada peraturan yang mengatur tentang itu baik mengacu pada UU Pemerintah Aceh karena Provinsi Aceh ada kekhususan ataupun mengacu pada Qanun Aceh Singkil. Sejauh sesuai dengan aturan yang ada, rakyat Aceh Singkil tidak pernah melarang pendirian rumah ibadah umat agama tertentu," tegas dia lagi.
Jasman meminta masyarakat, khususnya tokoh-tokoh politik di luar daerah, untuk tidak memberi penilaian secara sepihak menyangkut bentrok Aceh Singkil, dan tidak langsung menyimpulkan kelompok tertentu bersalah.
"Sebelum berkomentar dan mengambil kesimpulan, hendaknya kami harapkan lihatlah rangkaian persoalan yang terjadi di tengah-tengah masyarakat setempat dari sejak awal secara utuh, sehingga masukan informasi yang diterima pun lengkap sesuai bukti dan fakta-fakta di lapangan," kata Jasman.
Pewarta: Anwar
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015
Tags: