Jakarta (ANTARA News) - Direktur Hukum Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan Fithriadi Muslim mengatakan Rancangan Undang-undang Perampasan Aset Tindak Pidana akan mengatur mekanisme perampasan kekayaan yang tidak dapat dijelaskan.

"Dengan rancangan undang-undang ini ada ruang kita minta untuk menjelaskan perolehan hartanya, wajar apabila anggota DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) kaya sekali tapi bisa menjelaskan tidak hartanya diperoleh dari mana, tapi kalau ada perolehan-perolehan yang tidak bisa dijelaskan dimungkinkan dirampas," kata Fithriadi usai Sosialisasi RUU tentang Perampasan Aset Tindak Pidana di gedung Direktorat Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, Jakarta, Kamis.

Jika harta kekayaan yang dimiliki dapat dipertanggungjawabkan, maka harta tersebut tidak akan dirampas.

Harta kekayaan yang tidak dapat dijelaskan dikhawatirkan berkaitan dengan tindak pidana.

"Berharap sekali ini bisa segera ditetapkan, akan kita dorong terus untuk masuk Prolegnas (Program Legislasi Nasional) 2016," ujarnya.

Ia mengatakan RUU Perampasan Aset Tindak Pidana itu akan mengatur mekanisme perampasan untuk kekayaan yang tidak dapat dijelaskan.

Menurutnya, perampasan itu menjadi suatu upaya dalam rangka memberantas korupsi.

"Kalau misalnya masuk kita makin mengukuhkan diri bahwa ya ayo bersih-bersih semua," tuturnya.

Jika RUU itu lolos, maka semua pihak akan tertib melaporkan hasil kekayaannya.

"Semua harus bersih-bersih. Semuanya ya tidak hanya anggota dewan, PPATK juga harus tertib mencantumkan hasil kekayaannya," tuturnya.

Ia menuturkan perampasan kekayaan bukan hanya akan terjadi pada penyelenggara negara namun juga masyarakat umum, yang mana aset yang dirampas minimal Rp100 juta.

"Sejak ini ditetapkan pelaporan pajak harus benar kemudian laporan LHKPN (Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara) harus benar-benar artinya jangan ngarang lagi untuk menutupi," katanya.