Jakarta (ANTARA News) - Dalam waktu lima tahun mendatang Indonesia diperkirakan mampu memiliki sapi wagyu atau sapi Jepang yang dagingnya khusus untuk memenuhi kebutuhan pasar premium.

Head of Breeding Division PT Santosa Agrindo (Santori) Dayan Antoni di Jakarta, Sabtu menyatakan, saat ini negara-negara yang mengembangkan sapi wagyu hanya Jepang, Australia, Selandia Baru dan Kanada.

"Sejak pertengahan 2000-an pertumbuhan konsumsi daging untuk kelas menengah ke atas atau premium, yakni pariwisata dan restoran meningkat tinggi," katanya.

Pemenuhan kebutuhan daging kelas premium tersebut, lanjutnya, berasal dari sapi jenis wagyu yang memiliki karatekteristik berbeda dengan sapi-sapi jenis lainnya.

Oleh karena itu, menurut Dayan, sejak 2007 pihaknya mendatangkan sapi wagyu bakalan sebanyak 200 ekor untuk digemukkan dan dipotong.

Pada 2011, perusahaan tersebut mulai melakukan pembibitan sendiri dan mendatangkan indukan serta pejantan wagyu.

Indukan dan pejantan ini dikawinsilangkan dengan sapi brahman atau sapi lokal untuk menghasilkan wagyu Indonesia.

Menurut dia, usaha persilangan untuk menghasilkan bibit wagyu yang murni Indonesia bisa sampai 7-8 tahun dari jantan yang berbeda.

"Tiga tahun lagi kita punya wagyu F5 (hasil silangan yang ke lima). Ini sudah murni dan bisa diklaim sebagai wagyu Indonesia," kata Dayan di sela Pameran ILDEX 2015 di JIEXPO Kemayoran.

Semua bibit sapi wagyu didatangkan dari Australia genetiknya, karena negara tersebut memproduksi sapi wagyu dalam jumlah besar diluar Jepang dan Amerika.

Sementara itu, Jepang tidak mau mengekspor sapi wagyu karena sebagai kekayaan genetik nasional yang harus dilindungi. Terakhir yakni 20 tahun yang lalu Jepang mengirim sapi wagyu ke Amerika.

Dayan menyatakan, meskipun sapi wagyu merupakan sapi yang hidup di lingkungan subtropis namun mereka dapat beradaptasi di Indonesia sebagai daerah tropis, dengan baik.

"Mulai 2013 kami menghasilkan bibit silangan untuk dipotong. 2014 hasil produksinya dipotong. 2015 perusahaan sudah swasembada, mampu memproduksi daging wagyu secara mandiri," katanya.

Populasi Wagyu Santori saat ini yang tengah melalui masa pembibitan yakni 560 induk Wagyu dan 136 jantan Wagyu. Dari 136 jantan, enam ekor khusus memproduksi semen beku.

Saat ini hasil pembibitan telah menghasilkan keturunan ketiga. Diperkirakan pada 2019 akan dihasilkan Wagyu dengan bibit murni asal Indonesia.

Sementara, produksi per bulan, perusahaan menyembelih 150 ekor Wagyu, ujar Dayan, namun jumlah tersebut masih kurang dibandingkan permintaan yang membutuhkan penyediaan daging Wagyu dari 250 ekor sapi.

Saat ini, produksi Wagyu perusahaan tersebut didistribusikan untuk restoran jepang, retail, atau eceran di kawasan Jakarta dan Bali dengan pangsa pasar masing-masing 70 persen dan 30 persen. "Sektor pariwisata yang tengah bangkit dan berdaya saing mengundang permintaan Wagyu meningkat," katanya.

Dayan mengatakan, dari satu ekor sapi wagyu hanya 30 persen dari yang menjadi daging merah, sisanya menjadi produk olahan dan harganya seperti daging biasa.

Menyinggung harga daging sapi wagyu, menurut dia, nilainya empat kali lipat dari daging reguler yakni jika daging biasa Rp110.000 - Rp120.000 per kilogram, maka Wagyu Indonesia dijual hingga Rp600.000.

Sedangkan daging wagyu impor harganya bisa sampai Rp850.000 per kilogram, sementara yang asal Jepang bahkan di atas Rp1 juta.

Sementara itu harga jual sapi hidup, menurut Dayang untuk sapi lokal sekitar Rp13 juta untuk sapi bakalan sedangkan sapi wagyu bakalan bisa sekitar Rp18,5 juta per ekor.