Jakarta (ANTARA News) - Kabut asap parah yang terjadi di beberapa wilayah Indonesia adalah tragedi bukan bencana karena disebabkan kesalahan manusia dan tidak terjadi secara alamiah, menurut Center for International Forestry Research (CIFOR).

"Sebenarnya kejadian itu adalah tragedi, bukan bencana. Api yang menimbulkan kabut asap memang merugikan, namun secara bersamaan juga menguntungkan banyak orang," ujar peneliti CIFOR, Herry Purnomo, usai Rapat Dengar Pendapat Umum (RDPU) dengan Komisi IV DPR, di Gedung Parlemen, Jakarta, Kamis.

Pria yang juga guru besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor ini melanjutkan, api digunakan untuk membuka lahan pertanian, terutama sawit karena mudah dan murah.

Purnomo menjabarkan, di Sumatera, harga satu hektare lahan sebelum dibakar adalah sekitar Rp8,5 juta. Setelah dibakar, nilai lahan meningkat menjadi Rp11 juta lebih.

Kemudian jika sudah ditanami sawit, maka harga meninggi lagi menjadi sekitar Rp40 juta. Kata Herry, cara ini lebih menguntungkan daripada membuka lahan dengan traktor yang sulit digunakan di lahan gambut.

Selain itu, hal yang membuat bisnis ini semakin menggiurkan adalah Indonesia pemasok 52 persen kelapa sawit dunia, atau yang terbesar, pada 2014.

CIFOR mencatat, investasi perusahaan sawit di Indonesia, selain lokal juga berasal dari Malaysia dan Singapura. Perusahaan-perusahaan ini, pada tahun 2014, mengekspor 33 juta ton kelapa sawit dan menghasilkan 18,4 miliar dolar AS.

Sementara terkait kebakaran hutan, dia menyebut CIFOR mencatat ada kerugian negara sebesar sekitar hampir Rp200 triliun.

"Sehingga sangat logis jika pihak-pihak yang memiliki kepentingan dalam pembakaran hutan mendapatkan hukuman, baik pidana maupun perdata, dengan mengganti semua ongkos tragedi lingkungan ini," katanya.

Terkait pembakaran hutan penyebab kabut asap parah di beberapa wilayah Indonesia, data Wahana Lingkungan Hidup Indonesia menemukan, dari Januari hingga September 2015, ada 16.334 titik panas (berdasarkan LAPAN) atau 24.086 (berdasarkan NASA FIRM).


Kedua angka itu menyasar wilayah yang hampir sama, yaitu lima provinsi dengan kebakaran hutan terparah yaitu Jambi, Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Sumatera Selatan, dan Riau.

Titik-titik tersebut berada di konsesi perusahaan. Beberapa di antaranya yaitu Kalimantan Barat ada 2.495, Kalimantan Tengah 5.672, Riau 1.005, Sumatera Selatan 4.416 dan Jambi 2.842.

Nilai ISPU di daerah-daerah tersebut dalam beberapa waktu belakangan sudah di atas level berbahaya. Contoh di Kalimantan Barat, indeks standar pencemaran umum (ISPU) sempat mencapai angka 1.300 atau empat kali lipat level berbahaya (di angka 300-500), sementara nilai ISPU rata-rata mencapai 600-800.

Menurut CIFOR, kabut asap berdampak pada 30 juta jiwa, di mana ratusan ribu orang sudah menderita infeksi saluran pernapasan akut, dan korban-korban jiwa akibat terpapar asap.


Kerugian ini belum menghitung kerugian kekayaan hayati flora-fauna dan biota renik hingga ekonomi-bisnis terkait, semisal penerbangan.