OJK: Asuransi pertanian jamin daya beli petani
8 Oktober 2015 19:05 WIB
ilustrasi--Panen Lebih Dini. Petani memanen padi lebih dini saat berumur 3 bulan 7 hari di areal persawahan Jambu Alas, Pontang, Serang, Banten, Sabtu (29/8/15). Menurut data Badan Ketahanan Pangan Banten sedikitnya 190 ribu hektare lahan sawah atau setara 920 ton padi di provinsi itu terancam gagal panen akibat kekeringan. (ANTARA FOTO/Asep Fathulrahman)
Jakarta (ANTARA News) - Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menyatakan skema asuransi pertanian bisa menjamin daya beli petani karena akan melindungi mereka secara finansial dari ancaman gagal panen.
"Skema yang diterapkan adalah Asuransi Usaha Tani Padi yang 20 persen premi dibayar petani dan 80 persen dibayar pemerintah," kata Deputi Komisioner Pengawas IKNB 2 OJK Dumoli F Pardede di Gedung Soemitro Djojohadikusumo, Jakarta, Kamis.
Dumoli menjelaskan skema asuransi pertanian yang dirancang oleh OJK bekerja sama dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan perusahaan asuransi BUMN (konsorsium) itu memang dibutuhkan, mengingat pertanian rawan terhadap dampak negatif perubahan iklim yang menyebabkan gagal panen.
Dalam skema ini, tertanggung asuransi usaha tani padi ini adalah kelompok tani (Poktan) yang terdiri dari anggota, yakni petani yang melakukan kegiatan usaha tani sebagi satu kesatuan risiko (anyone risk) serta objek pertanggungannya adalah lahan sawah yang digarap petani (pemilik ataupun penggarap) anggota Poktan.
Untuk menjalankan skema itu, OJK resmi menunjuk BUMN Asuransi, PT Jasindo (Persero). Dumoli mengatakan, penunjukan Jasindo hanya berlaku untuk tahun ini, dan jumlah penjamin asuransi bisa bertambah pada tahun depan.
"Di undang-undang hanya menunjuk satu BUMN, kalau Jasindo mau, kalau nggak mau silakan. Kayaknya Jasindo mau cover sendiri, saya dengar dari direksi mereka mau sendiri," ujar dia.
Dengan penunjukan ini, Jasindo akan menerima kucuran premi asuransi dari pemerintah sebesar Rp150 miliar. Dana ini dipakai untuk melindungi 6 juta hektare lahan petani jika gagal panen.
"Tahap pertama time frame 4 bulan untuk sekali masa panen. Tahun 2016 ada lagi baru. Kita dari awal cover all petani, lebih kurang Rp1 triliun saat rapat-rapat, tapi kemudian berubah jadi Rp150 miliar hanya untuk padi," jelasnya.
Untuk premi per hektare, lanjut dia, sebesar Rp180 ribu, dengan Rp150 ribu dibayarkan pemerintah dan Rp30 ribu dibayarkan petani per hektarenya dengan harga pertanggungan sebesar Rp6 juta setiap hektare.
"Untuk yang luasnya kurang dari satu hektare, diperhitungkan secara proporsional," ucap dia.
Dengan asuransi tersebut, lanjut dia, akan menjadikan petani lebih bankable terhadap kredit pertanian dan dapat menstabilkan pendapatan para petani.
"Artinya, dengan terproteksinya para petani tersebut maka akan terbuka akses pinjaman/kredit kepada para petani tersebut. Potensi kredit para petani dengan adanya skema ini adalah Rp6 triliun," tuturnya.
Asuransi pertanian sendiri masuk sebagai salah satu paket kebijakan ekonomi pemerintah jilid III di sektor keuangan. Petani akan mendapat santunan Rp6 juta/hektare lahan sawah yang gagal panen dengan hanya membayar premi Rp 30.000/hektare.
"Skema yang diterapkan adalah Asuransi Usaha Tani Padi yang 20 persen premi dibayar petani dan 80 persen dibayar pemerintah," kata Deputi Komisioner Pengawas IKNB 2 OJK Dumoli F Pardede di Gedung Soemitro Djojohadikusumo, Jakarta, Kamis.
Dumoli menjelaskan skema asuransi pertanian yang dirancang oleh OJK bekerja sama dengan Kementerian Pertanian, Kementerian Badan Usaha Milik Negara (BUMN), dan perusahaan asuransi BUMN (konsorsium) itu memang dibutuhkan, mengingat pertanian rawan terhadap dampak negatif perubahan iklim yang menyebabkan gagal panen.
Dalam skema ini, tertanggung asuransi usaha tani padi ini adalah kelompok tani (Poktan) yang terdiri dari anggota, yakni petani yang melakukan kegiatan usaha tani sebagi satu kesatuan risiko (anyone risk) serta objek pertanggungannya adalah lahan sawah yang digarap petani (pemilik ataupun penggarap) anggota Poktan.
Untuk menjalankan skema itu, OJK resmi menunjuk BUMN Asuransi, PT Jasindo (Persero). Dumoli mengatakan, penunjukan Jasindo hanya berlaku untuk tahun ini, dan jumlah penjamin asuransi bisa bertambah pada tahun depan.
"Di undang-undang hanya menunjuk satu BUMN, kalau Jasindo mau, kalau nggak mau silakan. Kayaknya Jasindo mau cover sendiri, saya dengar dari direksi mereka mau sendiri," ujar dia.
Dengan penunjukan ini, Jasindo akan menerima kucuran premi asuransi dari pemerintah sebesar Rp150 miliar. Dana ini dipakai untuk melindungi 6 juta hektare lahan petani jika gagal panen.
"Tahap pertama time frame 4 bulan untuk sekali masa panen. Tahun 2016 ada lagi baru. Kita dari awal cover all petani, lebih kurang Rp1 triliun saat rapat-rapat, tapi kemudian berubah jadi Rp150 miliar hanya untuk padi," jelasnya.
Untuk premi per hektare, lanjut dia, sebesar Rp180 ribu, dengan Rp150 ribu dibayarkan pemerintah dan Rp30 ribu dibayarkan petani per hektarenya dengan harga pertanggungan sebesar Rp6 juta setiap hektare.
"Untuk yang luasnya kurang dari satu hektare, diperhitungkan secara proporsional," ucap dia.
Dengan asuransi tersebut, lanjut dia, akan menjadikan petani lebih bankable terhadap kredit pertanian dan dapat menstabilkan pendapatan para petani.
"Artinya, dengan terproteksinya para petani tersebut maka akan terbuka akses pinjaman/kredit kepada para petani tersebut. Potensi kredit para petani dengan adanya skema ini adalah Rp6 triliun," tuturnya.
Asuransi pertanian sendiri masuk sebagai salah satu paket kebijakan ekonomi pemerintah jilid III di sektor keuangan. Petani akan mendapat santunan Rp6 juta/hektare lahan sawah yang gagal panen dengan hanya membayar premi Rp 30.000/hektare.
Pewarta: Ricky Prayoga
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015
Tags: