Jordania pilih diplomatik guna tangani konflik di tempat suci
8 Oktober 2015 12:45 WIB
Lapisan salju menutup Kubah Batu di kompleks al-Haram al-Sharif atau Bait Allah di Kota Tua Yerusalem, Israel, Rabu (10/1). Badai salju terburuk dalam 20 tahun terakhir yang menimpa sejumlah negara di Timur Tengah itu telah menutup transportasi publik, jalan-jalan, dan sekolah-sekolah di Yerusalem Kamis kemarin, serta di sepanjang kawasan Israel utara yang berbatasan dengan Lebanon. (REUTERS/Ammar Awad)
Amman (ANTARA News) - Jordania pada Rabu (7/10) menyatakan negara tersebut mengambil pilihan hukum dan diplomatik untuk menghadapi Israel dan menghadapi agresinya di Masjid Al-Aqsha jika semua itu berlangsung terus, demikian laporan Kantor Berita Jordania, Petra.
Dalam satu pertemuan dengan ilmuwan dan kaum intelektual dari seluruh Arab dan Dunia Islam, Raja Jordania Abdullah mengatakan negaranya akan terus melaksanakan kewajibannya untuk melindungi Jerusalem tak peduli apa pun perkembangan di wilayah tersebut.
Jordania belum lama ini mengutuk agresi Israel di Jerusalem, setelah pasukan Israel menyerbu Masjid Al-Aqsha dan bentrok dengan orang yang beribadah di sana.
Jordania, yang menandatangani kesepakatan perdamaian dengan Israel pada 1994, mengawasi tempat suci agama Islam dan Kristen di Jerusalem.
Selama pertemuan tersebut, Raja Abdullah mengatakan Jordania akan terus memerangi kelompok teror yang berusaha mencemarkan citra Islam, demikian laporan Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Kamis siang.
Raja Jordania itu mengatakan bangsa Arab dan umat Muslim mesti mensahkan satu strategis untuk memerangi terorisme dan membela Islam.
Raja Abdullah, yang menegaskan perang melawan teror adalah perang yang mesti dikobarkan oleh umat Muslim, mengatakan negara Arab dan Islam mesti memusatkan perhatian pada prinsip moderat Islam dan mencegah ceramah yang menyebarkan kebencian.
Jordania adalah satu dari selusin negara yang ikut dalam koalisi pimpinan AS untuk memerangi Negara Islam di Suriah dan Irak.
Israel menduduki Tepi Barat dan mencaplok Jerusalem Timur dalam Perang Timur Tengah 1967, sedangkan rakyat Palestina ingin mendirikan negara mereka di wilayah yang diduduki Israel dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kotanya.
Ketegangan antara orang Yahudi dan Arab di daerah tersebut telah meningkat di tengah kebuntuan dalam perundingan antara Israel dan Pemerintah Otonomi Nasional Palestina, setelah babak terakhir pembicaraan perdamaian berhenti secara mendadak pada April 2014.
Penyelesaian dua-negara, yang didukung banyak kalangan di dalam masyarakat internasional, merancang Israel yang aman hidup dalam kedamaian dan berdampingan dengan Negara Palestina Merdeka.
Namun telah terjadi lonjakan bentrokan antara pasukan keamanan Yahudi dan pemrotes Palestina berkaitan dengan tempat suci Al-Haram Asy-Syarif.
Palestina menuduh ekstremis Yahudi berusaha mengubah status quo mengenai wilayah itu.
Sekretaris Jenderal PBB telah mendesak "semua pemimpin agar mengutuk kekerasan dan hasutan, memelihara ketenangan dan melakukan apa saja yang dapat mereka lakukan guna menghindari peningkatan ketegangan lebih jauh lagi".
(C003)
Dalam satu pertemuan dengan ilmuwan dan kaum intelektual dari seluruh Arab dan Dunia Islam, Raja Jordania Abdullah mengatakan negaranya akan terus melaksanakan kewajibannya untuk melindungi Jerusalem tak peduli apa pun perkembangan di wilayah tersebut.
Jordania belum lama ini mengutuk agresi Israel di Jerusalem, setelah pasukan Israel menyerbu Masjid Al-Aqsha dan bentrok dengan orang yang beribadah di sana.
Jordania, yang menandatangani kesepakatan perdamaian dengan Israel pada 1994, mengawasi tempat suci agama Islam dan Kristen di Jerusalem.
Selama pertemuan tersebut, Raja Abdullah mengatakan Jordania akan terus memerangi kelompok teror yang berusaha mencemarkan citra Islam, demikian laporan Xinhua --yang dipantau Antara di Jakarta, Kamis siang.
Raja Jordania itu mengatakan bangsa Arab dan umat Muslim mesti mensahkan satu strategis untuk memerangi terorisme dan membela Islam.
Raja Abdullah, yang menegaskan perang melawan teror adalah perang yang mesti dikobarkan oleh umat Muslim, mengatakan negara Arab dan Islam mesti memusatkan perhatian pada prinsip moderat Islam dan mencegah ceramah yang menyebarkan kebencian.
Jordania adalah satu dari selusin negara yang ikut dalam koalisi pimpinan AS untuk memerangi Negara Islam di Suriah dan Irak.
Israel menduduki Tepi Barat dan mencaplok Jerusalem Timur dalam Perang Timur Tengah 1967, sedangkan rakyat Palestina ingin mendirikan negara mereka di wilayah yang diduduki Israel dengan Jerusalem Timur sebagai ibu kotanya.
Ketegangan antara orang Yahudi dan Arab di daerah tersebut telah meningkat di tengah kebuntuan dalam perundingan antara Israel dan Pemerintah Otonomi Nasional Palestina, setelah babak terakhir pembicaraan perdamaian berhenti secara mendadak pada April 2014.
Penyelesaian dua-negara, yang didukung banyak kalangan di dalam masyarakat internasional, merancang Israel yang aman hidup dalam kedamaian dan berdampingan dengan Negara Palestina Merdeka.
Namun telah terjadi lonjakan bentrokan antara pasukan keamanan Yahudi dan pemrotes Palestina berkaitan dengan tempat suci Al-Haram Asy-Syarif.
Palestina menuduh ekstremis Yahudi berusaha mengubah status quo mengenai wilayah itu.
Sekretaris Jenderal PBB telah mendesak "semua pemimpin agar mengutuk kekerasan dan hasutan, memelihara ketenangan dan melakukan apa saja yang dapat mereka lakukan guna menghindari peningkatan ketegangan lebih jauh lagi".
(C003)
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2015
Tags: