"Kepastian Amerika Serikat menaikkan tingkat bunga makin lama makin kecil, bahkan kemungkinan lebih besar (suku bunga naik) di 2016. Itu yang membuat semua mata uang menguat dan rupiah, yang sangat undervalue, menguat," katanya di Jakarta, Selasa.
Brodjonegoro menjelaskan isu kenaikan suku bunga The Fed akan mereda hingga akhir tahun ini, namun kemungkinan isu tersebut akan muncul lagi pada 2016 apabila perekonomian di Amerika Serikat mulai membaik.
"Perkiraannya sampai isu kenaikan suku bunga The Fed muncul lagi (tahun depan), kalau sekarang isunya hilang dulu," ujarnya.
Selain itu, menurut dia, penguatan kurs rupiah juga terpengaruh oleh kondisi domestik yaitu tidak adanya permintaan dolar Amerika Serikat yang luar biasa di dalam negeri, sehingga untuk sementara rupiah tidak bergejolak terlalu tajam.
Sebelumnya, nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Selasa sore bergerak menguat sebesar 268 poin menjadi Rp14.243 dibandingkan posisi sebelumnya pada posisi Rp14.511 per dolar AS.
"Penguatan dolar AS terhenti sejak menyusul sinyal kenaikan suku bunga acuan bank sentral Amerika Serikat (Fed Fund Rate) cenderung mereda seiring dengan beberapa data ekonomi disana yang melambat," kata Kepala Riset Monex Investindo Futures, Ariston Tjendra.
Menurut dia, penurunan beberapa data ekonomi Amerika Serikat yang menjadi indikator The Fed untuk menaikkan suku bunga membuat sebagian pelaku pasar beropini bahwa The Fed kemungkinan baru akan menyesuaikan suku bunga acuan pada 2016.
Kondisi rupiah dan beberapa mata uang negara di Asia yang terapresiasi, menyebabkan sentimen positif dan membuat Indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) pada Selasa sore ditutup naik sebesar 102,08 poin.
IHSG BEI ditutup menguat sebesar 102,08 poin atau 2,35 persen menjadi 4.445,78. Sementara kelompok 45 saham unggulan atau LQ45 bergerak naik 25,61 poin (3,49 persen) menjadi 759,31.