Stockholm/London (ANTARA News) - Tiga ilmuwan dari Jepang, Tiongkok dan Irlandia yang temuannya mengarah ke pengembangan obat ampuh baru melawan penyakit-penyakit yang disebabkan oleh parasit seperti malaria dan kaki gajah atau elephantiasis mendapat Hadiah Nobel Kedokteran pada Senin (5/10).

William Campbell kelahiran Irlandia dan Satoshi Omura dari Jepang memenangi separuh dari hadiah senilai delapan juta crown Swedia (960.000 dolar AS) itu karena menemukan avermectin, satu derivatif yang sudah digunakan untuk menangani ratusan juta orang dengan river blindness dan limfatik filariasis atau elephantiasis.

Tu Youyou dari Tiongkok mendapat separuh hadiah karena menemukan artemisinin, obat yang memangkas kematian akibat malaria dan sudah menjadi andalan dalam memerangi penyakit yang menular melalui gigitan nyamuk. Dia adalah orang Tiongkok pertama yang mendapat Hadiah Nobel Kedokteran.

Sekitar 3,4 miliar orang, kebanyakan tinggal di negara-negara miskin, berisiko tertular ketiga penyakit parasitik itu.

"Dua temuan ini telah memberi manusia sarana kuat baru untuk memerangi penyakit-penyakit mengerikan yang mempengaruhi ratusan juta orang setiap tahun," kata Majelis Nobel di Karolinska Institute Swedia.

"Konsekuensi dalam hal perbaikan kesehatan manusia dan pengurangan penderitaan itu tak terhitung nilainya."

Sekarang obat ivermectin, turunan avermectin buatan Merck & Co, digunakan di seluruh dunia untuk memerangi parasit cacing gelang, sementara obat-obat berbasis artemisinin dari perusahaan-perusahaan seperti Novartis Sanofi menjadi senjata utama melawan malaria.

Omura dan Campbell membuat terobosan dalam memerangi cacing parasit atau helminths setelah mempelajari senyawa-senyawa dari bakteria tanah. Itu membawa ke penemuan avermectin, yang kemudian dimodifikasi lebih lanjut menjadi ivermectin.

Penanganan menggunakan obat-obatan itu sangat sukses sehingga river blindness dan limfatik filariasis sekarang berada di ujung kepunahan.

Omura (80) mengatakan penghargaan sesungguhnya atas pencapaian itu semestinya diberikan untuk kecerdasan bakteri Streptomyces, yang bahan-bahan kimia alaminya sangat efektif membunuh parasit.

"Saya sungguh bertanya-tanya apakah saya layak mendapatkan ini," katanya setelah mengetahui bahwa dia mendapat penghargaan tersebut.

"Saya melakukan seluruh pekerjaan saya dengan mengandalkan mikroba dan belajar dari mereka, jadi saya pikir mikroba-mikroba itu semestinya lebih layak mendapatkannya daripada saya," katanya seperti dilansir kantor berita Reuters.

Omura adalah profesor emeritus di Kitasato University, Jepang, sementara Campbell adalah mitra riset emeritus di Drew University, Madison, New Jersey.

"Ini adalah kerja tim peneliti jadi bukan hanya kerja saya, ini kerja kita," kata Campbell (85), yang mengetahui bahwa dia mendapat hadiah itu lewat telepon menjelang fajar dari kantor berita Reuters yang membangunkan dia dari tidur di rumahnya di North Andover, Massachusetts.

"Selama dekade pertama, ada lebih dari 70 penulis mitra saya menulis makalah. Itu memberimu beberapa gagasan tentang jumlah orang yang terlibat," katanya.


Obat Tradisional Tiongkok

Sementara Tu beralih ke obat-obatan herbal tradisional Tiongkok dalam perburuan obat malaria yang lebih baik, setelah keampuhan obat-obat lama seperti chloroquine dan quinine menurun.

Dia menemukan bahwa ekstrak tumbuhan Artemisia annua kadang efektif tapi hasilnya tidak konsisten, jadi perempuan ilmuwan itu kemudian kembali ke literatur kuno, termasuk resep dari tahun 350, untuk mencari petunjuk.

Ini pada akhirnya membawa dia pada isolasi artemisinin, kelas baru obat anti-malaria, yang tersedia di Tiongkok sebelum mencapai Barat.

Tu (84) bekerja di China Academy of Traditional Chinese Medicine sejak 1965.

"Kita sekarang punya obat-obat yang membunuh parasit-parasit ini pada tahap sangat awal dari siklus hidupnya," kata Juleen Zierath, ketua Komite Nobel.

"Mereka tidak hanya membunuh parasit-parasit ini tapi juga menghentikan penyebaran infeksi."

Tingkat kematian akibat malaria telah turun hingga 60 persen dalam 15 tahun terakhir meskipun penyakit itu masih berada di sekitar separuh juta orang per tahun, kebanyakan bayi dan anak-anak di bagian-bagian paling miskin Afrika.