Meramu jazz a la Duo Peirani-Parisien
Oleh Natisha Andarningtyas
23 September 2015 13:03 WIB
Duo Peirani-Parisien asal Prancis tampil di Indonesia selama 21-25 September untuk tur Asia. Mereka sudah tampil di Yogyakarta dan di Jakarta pada Selasa (22/9) malam di Institut Francais d'Indonesie (IFI). Selanjutnya duo itu akan bermain di Bandung, Surabaya dan Bali. (ANTARA News/Natisha A)
Jakarta (ANTARA News) - Dari sekian banyak alat musik, Vincent Peirani dan Emile Parisien memilih meramu jazz dengan akordeon dan saksofon sopran.
"Jazz sangat terbuka," kata sang pemain akordeon, Peirani, kepada Antara News.
Duo asal Paris, Prancis, tersebut mengawinkan jazz dengan musik folk, seperti yang terdengar dalam nomor lawas milik Sydney Bechet "Song of Medina (Casbah)" yang mereka aransemen ulang.
Dengan jazz pula, mereka membuat komposisi bernuansa sendu "Hysm" dari album mereka Belle Epoque, karya Parisien yang sedikit mengingatkan pada irama gospel.
Menurut Parisien, yang tinggal di Paris, inspirasi bermusik bisa berasal dari mana saja, dan perkembangan teknologi seperti Internet menungkinkan seseorang bisa mendengarkan banyak hal.
"Saya ambil apa pun yang saya suka, lalu campur, membuat komposisi sendiri dengan cara saya," kata Parisien, yang mengaku jatuh cinta pada genre musik yang berkembang di Amerika Serikat sekitar abad 19 itu.
Meski musiknya dilabeli jazz, Peirani mengatakan, improvisasi tetap memegang peranan penting dalam mengekspresikan musik.
"Bisa saja terinspirasi dari klasik, pop, rock, folk," kata dia.
Duet saksofon-akordeon, tanpa vokal, menurut Peirani bukan masalah untuk mengekspresikan diri, meski di negara asal mereka pun itu kurang lazim.
"Instrumen itu seperti perpanjangan dirimu, jadi lebih penting musisinya," kata Peirani.
Ketika seseorang bermusik, lanjut Peirani, ia tidak memperhatikan lagi siapa bermain instrumen apa, namun bagaimana musik yang dihasilkan.
Memilih instrumen yang tidak begitu banyak dimainkan di negaranya sendiri, pun tidak membuat Peirani membatasi diri pada jenis musik tertentu, pop, rock, hingga trash metal pun dicobanya.
"Coba saja, cari cara untuk mengekspresikannya."
Parisien dan Peirani mengulik musik dari komposer awal abad 20 seperti Sydney Bechet, Irving Mills, Duke Ellington dan Henry Lodge, lalu bersama-sama mengaransemen ulang musik-musik mereka, seperti yang dilakukan pada "Song of Medina (Casbah)".
Keduanya bertemu sekitar lima tahun lalu, saat berkolaborasi dengan teman sesama musisi.
"Ada sambungan yang kuat di antara kami, lalu kami putuskan bermusik bersama," kata Parisien, yang berada di Indonesia selama 21-25 September untuk tur Asia bersama Peirani.
Musik orang tua
Vincent Peirani belajar akordeon sekitar 23 tahun lalu, ketika ia berusia 12 tahun.
"Saya tidak suka awalnya, karena itu untuk orang tua," kata Peirani mengenang masa kecilnya.
Remaja dan ingin belajar bermusik, ia tertarik belajar drum. Akordeon untuk orang tua, bergitu pikirnya kala itu.
"Tidak, kau belajar akordeon," kata Peirani menirukan ayahnya yang juga bisa memainkan alat musik tersebut.
Bahkan ketika akordeon sudah di pangkuannya, Peirani ingat, ia masih ingin bermain drum.
Lain cerita dengan Emile Parisien, yang memang sudah tertarik bermain saksofon sejak kecil.
"Saya rasa ini perpanjangan tangan saya, bagian diri saya, bagian hidup saya," kata Parisien, belajar musik di Konservatorium Toulouse.
Selama di konservatorium, ia sempat beberapa tahun beralih ke musik klasik sebelum akhirnya kembali ke jazz.
Musisi yang sudah bertahun-tahun menggeluti jazz itu maklum dengan anggapan bahwa musik tersebut untuk orang tua.
"Buat saya, jazz abadi, evolusi karena banyak improvisasi," katanya.
Jazz, menurut dia, dapat dinikmati semua usia karena pada perkembangannya musik tersebut berbaur dengan berbagai aliran.
"Saya bangga sekarang," katanya.
"Jazz sangat terbuka," kata sang pemain akordeon, Peirani, kepada Antara News.
Duo asal Paris, Prancis, tersebut mengawinkan jazz dengan musik folk, seperti yang terdengar dalam nomor lawas milik Sydney Bechet "Song of Medina (Casbah)" yang mereka aransemen ulang.
Dengan jazz pula, mereka membuat komposisi bernuansa sendu "Hysm" dari album mereka Belle Epoque, karya Parisien yang sedikit mengingatkan pada irama gospel.
Menurut Parisien, yang tinggal di Paris, inspirasi bermusik bisa berasal dari mana saja, dan perkembangan teknologi seperti Internet menungkinkan seseorang bisa mendengarkan banyak hal.
"Saya ambil apa pun yang saya suka, lalu campur, membuat komposisi sendiri dengan cara saya," kata Parisien, yang mengaku jatuh cinta pada genre musik yang berkembang di Amerika Serikat sekitar abad 19 itu.
Meski musiknya dilabeli jazz, Peirani mengatakan, improvisasi tetap memegang peranan penting dalam mengekspresikan musik.
"Bisa saja terinspirasi dari klasik, pop, rock, folk," kata dia.
Duet saksofon-akordeon, tanpa vokal, menurut Peirani bukan masalah untuk mengekspresikan diri, meski di negara asal mereka pun itu kurang lazim.
"Instrumen itu seperti perpanjangan dirimu, jadi lebih penting musisinya," kata Peirani.
Ketika seseorang bermusik, lanjut Peirani, ia tidak memperhatikan lagi siapa bermain instrumen apa, namun bagaimana musik yang dihasilkan.
Memilih instrumen yang tidak begitu banyak dimainkan di negaranya sendiri, pun tidak membuat Peirani membatasi diri pada jenis musik tertentu, pop, rock, hingga trash metal pun dicobanya.
"Coba saja, cari cara untuk mengekspresikannya."
Parisien dan Peirani mengulik musik dari komposer awal abad 20 seperti Sydney Bechet, Irving Mills, Duke Ellington dan Henry Lodge, lalu bersama-sama mengaransemen ulang musik-musik mereka, seperti yang dilakukan pada "Song of Medina (Casbah)".
Keduanya bertemu sekitar lima tahun lalu, saat berkolaborasi dengan teman sesama musisi.
"Ada sambungan yang kuat di antara kami, lalu kami putuskan bermusik bersama," kata Parisien, yang berada di Indonesia selama 21-25 September untuk tur Asia bersama Peirani.
Musik orang tua
Vincent Peirani belajar akordeon sekitar 23 tahun lalu, ketika ia berusia 12 tahun.
"Saya tidak suka awalnya, karena itu untuk orang tua," kata Peirani mengenang masa kecilnya.
Remaja dan ingin belajar bermusik, ia tertarik belajar drum. Akordeon untuk orang tua, bergitu pikirnya kala itu.
"Tidak, kau belajar akordeon," kata Peirani menirukan ayahnya yang juga bisa memainkan alat musik tersebut.
Bahkan ketika akordeon sudah di pangkuannya, Peirani ingat, ia masih ingin bermain drum.
Lain cerita dengan Emile Parisien, yang memang sudah tertarik bermain saksofon sejak kecil.
"Saya rasa ini perpanjangan tangan saya, bagian diri saya, bagian hidup saya," kata Parisien, belajar musik di Konservatorium Toulouse.
Selama di konservatorium, ia sempat beberapa tahun beralih ke musik klasik sebelum akhirnya kembali ke jazz.
Musisi yang sudah bertahun-tahun menggeluti jazz itu maklum dengan anggapan bahwa musik tersebut untuk orang tua.
"Buat saya, jazz abadi, evolusi karena banyak improvisasi," katanya.
Jazz, menurut dia, dapat dinikmati semua usia karena pada perkembangannya musik tersebut berbaur dengan berbagai aliran.
"Saya bangga sekarang," katanya.
Editor: Maryati
Copyright © ANTARA 2015
Tags: