Jakarta (ANTARA News) - Kurator museum dan pemilik rumah lelang, Amir Sidharta, sampai menelusuri jejak penggunaan kaus oblong saat meneliti satu lukisan yang katanya bikinan Soedibio, pelukis yang karyanya diburu banyak kolektor dari dalam dan luar negeri.
Pemilik Siharta Auctioneer itu tahu, Soedibio, yang pada zamannya dikenal sebagai satu-satunya seniman yang bisa melukis potret tanpa model dan mahir melukis pemandangan alam dan pedesaan, biasa melukis berdasarkan kondisi lingkungan sekitarnya.
Karena itu dia mulai menyelidik kaus yang dikenakan orang dalam lukisan bertahun 1949 tersebut dengan menelusuri penggunaan kaus oblong, yang menurut dia populer setelah Marlon Brando mengenakannya dalam drama "A Streetcar Named Desire" (1947).
Dia juga melihat foto-foto orang pada masa lalu, dan menemukan beberapa foto orang mengenakan kaus oblong.
"Jadi mungkin pada masa itu kaus oblong memang sudah masuk Indonesia," kata Amir Sidharta, yang menekuni lukisan sejak 1994.
Selain itu dia juga mengamati busana tokoh-tokoh dalam lukisan itu, melihat model celana dan kemungkinan jenis kainnya serta bentuk sepatu yang dipakai, lalu membandingkannya dengan busana orang-orang Indonesia pada masa lukisan tersebut dibuat.
Dalam diskusi tentang lukisan palsu di Ciputra Artpreneur, Jakarta, Kamis (17/9), dia memaparkan penelitiannya pada beberapa karya Soedibio yang dipamerkan di museum pribadi milik Dr. Oei Hong Djien (OHD) di Magelang, Jawa Tengah, termasuk di antaranya yang berjudul Ke Kau Penduduk Jogja.
Pertama dia memeriksa gambarnya, meneliti figur orang-orang dalam lukisan dan busana mereka, cara pelukisan, serta skala dan dimensi lukisan, lantas membandingkannya dengan lukisan-lukisan karya Soedibio yang terdokumentasi.
Dia juga meneliti ekspresi dan psikologi karakter serta tema lukisan-lukisan tersebut dan membandingkannya dengan karya-karya Soedibio lainnya.
Selanjutnya dia melihat kesesuaian lukisan-lukisan itu dengan sosok Soedibio, yang menurut laman resmi Taman Ismail Marzuki lahir di Madiun pada 17 Juni 1912 dan semasa hidup aktif di berbagai organisasi kesenian.
Dengan cara itu dia mengetahui bahwa ada enam lukisan koleksi OHD dengan atribusi Soedibio yang sebenarnya bukan karyanya, tapi buatan orang yang membuat gambar dengan meniru teknik dan gaya lukis Soedibio.
Analis lukisan Hendra Gunawan Siont Tedja juga menggunakan cara yang hampir sama dalam memeriksa karya dengan atribusi Hendra Gunawan.
Dia melihat kesesuaiannya dengan ciri lukisan Hendra Gunawan, yang menurut dia antara lain tampak datar dengan pembagian bidang lukisan dan pewarnaan khas serta sapuan kuas jelas yang dibuat spontan lapisan demi lapisan.
Selain itu dia melihat semacam komunikasi antar karakter dalam lukisan Hendra Gunawan serta kejelasan anatominya.
"Anatominya tetap terlihat jelas dan serasi walau terdistorsi," kata Siont, yang mengawali karir sebagai pelukis namun memutuskan bergeser ke jalur bisnis lukisan tahun 1990an.
Pengagum karya Hendra Gunawan itu juga meneliti tema dan kronik lukisan, sehingga bisa langsung memastikan lukisan beratribusi Hendra Gunawan yang berangka tahun 1987 palsu karena tahu Sang Maestro meninggal dunia empat tahun sebelumnya.
Pengetahuan tentang kekhasan dan kronik karya Hendra Gunawan serta seluk beluk perjalanan hidup sang pelukis juga membuat Siont tahu bahwa tidak ada satu pun dari sekitar 240 lukisan dalam buku Hendra Gunawan Sang Pelukis Rakyat yang dibuat oleh sang pelukis.
"Lihat lukisan itu bukan hanya berdasarkan bentuk, tapi ada rasa jiwa
gitu. Dan untuk bisa seperti itu memang perlu jam terbang, enggak
gampang," kata Siont.
"Lukisan Hendra Gunawan unggul dan istimewa, dan tidak mudah untuk membuat lukisan yang mencerminkan inti kandungan rasa hati dan jiwa lukisan Hendra, hanya dengan menorehkan tanda tangan Hendra," katanya.
Bedah "oplosan"
Peneliti Aminudin TH Siregar memeriksa lukisan-lukisan hasil "oplosan" dari cuplikan karya maestro lukis S. Sudjojono menggunakan beberapa "pisau bedah".
Kurator dan penulis sejarah seni itu melakukan analisis formal berdasarkan hasil pengamatan dan pemeriksaan aspek visual, antara lain dari rekaman detail lukisan seperti nama, judul, titimangsa, ukuran, medium, dan periode gaya.
Staf pengajar di Institut Teknologi Bandung itu juga meneliti tema dan subjek lukisan serta komposisi, penggunaan warna, bentuk efek dan teknik pembuatannya serta kaitan lukisan dengan konteks.
Dia juga melihat karya dari sisi luar, menganalisis secara kontekstual, berusaha memahami bagaimana sebuah karya mengekspresikan dan membentuk pengalaman, ide dan nilai individu atau kelompok berdasarkan hubungan antar karya, buku-buku, catatan dan dokumen pribadi seniman, dan bukti pendukung lain.
Dalam meneliti lukisan-lukisan yang diklaim sebagai karya S. Sudjojono, Aminudin juga berpegang pada perkataan pelukis berjuluk Sang Jiwa Besar itu, juga pendiriannya.
"Sudjojono mengatakan, 'Kebenaran nomor satu, baru kebagusan'. Dia tidak pernah mengarang dalam melukis sesuatu," katanya dalam diskusi dan pameran lukisan palsu di Jakarta, Kamis (17/9).
Maestro yang meninggal dunia pada usia 73 tahun karena kanker paru dan luka usus pada 25 Maret 1986 itu, katanya, selalu melukis berdasarkan apa yang dia lihat, dan tidak pernah menghilangkan bagiannya meski tak indah dalam pandangan.
Selain mempelajari karya-karya lukis, sketsa dan patung karya Sudjojono serta menelusuri pameran-pamerannya, Aminudin mempelajari esai, kritik seni, dan catatannya.
Dia juga menelisik perjalanan hidup sang pelukis sehingga mengetahui bahwa selama Agresi Militer Belanda I tahun 1947 Sudjojono tidak melukis, hanya menghasilkan sedikit lukisan pada dekade 1950-an, dan kembali ke realisme dengan karya-karya yang menunjukkan teknik realis prima seperti yang tampak dalam lukisan Sekko (1948), Potret Tetangga (1950) dan Mengungsi (1950).
Saat diskusi, Aminudin membedah beberapa lukisan karya Sudjojono koleksi museum OHD yang juga dimuat dalam buku Lima Maestro Seni Rupa Modern terbitan museum itu.
Berdasarkan hasil pengamatan karya serta pengetahuan tentang karakter lukisan dan sejarah hidup sang pelukis, Aminudin mengatakan bahwa beberapa lukisan dalam buku Lima Mestro Seni Rupa Modern terbitan Museum OHD 2012 layak dicurigai tidak dilukis oleh Sudjojono, termasuk lukisan berjudul Perjuangan Belum Selesai!
Menurut dia lukisan itu hasil oplosan. Sang pemalsu mengambil tokoh dan bagian dalam beberapa lukisan asli S. Sudjojono dan menyatukannya menjadi satu lukisan baru serta mencantumkan nama sang maestro pada lukisan buatannya.
Dia menduga lukisan itu dibuat dengan mengambil karakter pemuda yang membelakangi pemirsa dari lukisan Maka Lahirlah Angkatan '66; sementara puing/reruntuhan bangunan, adegan dan komposisinya mirip lukisan Ngaso (1964) dan Persiapan Gerilya (1964).
Kecurigaan bahwa Perjuangan Belum Selesai! bukan buatan Sudjojono makin kuat dengan adanya tampilan vulgar lambang komunisme.
Lukisan itu menggambarkan sekumpulan orang di puing bangunan, termasuk sekelompok pekerja dan petani yang berteriak, dan di dalamnya ada sosok yang sedang duduk sembari memegang palu dan mata cangkul serta petani yang mengacungkan arit, yang jika disatukan jadi simbol komunisme.
Pada lukisan itu tertulis kalimat "Djalan masih pandjang menudju Gerbang Kemerdekaan" (Djogjakarta, di sebuah rumah di Bantul).
Aminudin mengatakan lukisan dikerjakan tahun 1967, masa yang tidak masuk akal bagi Sudjojono untuk melawat ke Yogyakarta, apalagi ke Bantul, karena semenjak peristiwa politik tahun 1965 pelukis itu menahan diri muncul ke khalayak dan meluangkan waktu menemani keluarga di Jakarta.
"Cap komunis, khususnya pada tahun-tahun ini, merupakan masalah serius bagi siapa saja," katanya.
"Mustahil bagi seorang S.Sudjojono berlaku naif dengan melukiskan karya yang vulgar, apalagi sengaja menjuruskan dirinya sebagai seorang 'simpatisan PKI' dan ini bertentangan secara diametral dengan 'simpati politiknya' terhadap gerakan kaum muda dan pelajar dalam lukisan Maka Lahirlah Angkatan '66," katanya.
Dia juga melihat ketidakaslian lukisan itu dengan membandingkan tulisan yang ada padanya dengan karakter tulisan dan tanda tangan Sudjojono, serta mengacu pada kepatuhan sang pelukis pada aturan tata bahasa yang ditetapkan pemerintah.
Aminudin mengatakan tingkat permintaan yang tidak wajar telah memicu pemalsuan karya-karya pelukis besar seperti S. Sudjojono.
Dia meneliti kronik lukisan S.Sudjojono tahun 1913 sampai 1986 berdasarkan dokumen yang tersebar di surat kabar, majalah, brosur dan katalog pameran dan menyimpulkan bahwa semasa hidup sang pelukis membuat tidak lebih dari 500 lukisan dalam berbagai ukuran. Tapi jumlah karya sang maestro yang beredar di medan seni menurut perkiraannya sekarang sekitar 1.000an.
Para pemalsu lukisan dan penjual lukisan palsu tidak hanya merenggut hak para seniman dan ahli waris mereka, tapi juga membohongi publik dan melakukan kekerasan terhadap seni rupa Indonesia menurut Aminudin.
Aksi ilegal itu mesti dibendung. Menurut dia, upaya membendung peredaran lukisan palsu bisa dilakukan lewat pembentukan pusat penelitian sejarah seni rupa dan lembaga verifikasi lukisan serta penyusunan buku sejarah seni rupa Indonesia yang komprehensif.
Para kolektor dan pembeli karya seni rupa, menurut dia, pun bisa mulai berkontribusi mencegah peredaran lukisan palsu dengan berhati-hati saat membeli.
"Dia sudah akan bermanfaat kalau setidaknya hati-hati dulu deh beli. Itu saja dulu. Itu saya kira sudah kontributif," kata Aminudin.
"Pisau bedah" para pemeriksa lukisan palsu
Oleh Maryati
18 September 2015 17:09 WIB
Pengunjung mengamati repro lukisan yang dipamerkan pada pameran Jejak Lukisan Palsu Indonesia di Galeri Cipta III, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, Selasa (17/6). (ANTARA FOTO/Zabur Karuru)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015
Tags: