"Itu adalah tanggung jawab negara yang selama ini diabaikan," ujar Triyana, selepas acara diskusi di Cikini, Jakarta, Selasa.
Menurut dia, pengakuan itu juga bisa menghilangkan pola pikir yang salah, seolah-olah pembantaian ratusan ribu orang, terdiri dari kader Partai Komunis Indonesia dan yang dituduh anggota PKI, sebanding dengan pembunuhan atas tujuh orang jenderal yang terjadi sebelumnya atau pada peristiwa G30S/PKI.
Soeharto yang saat itu melesat menjadi pemimpin militer dan kemudian menjadi presiden menunjuk PKI satu-satunya pihak yang bertanggung jawab atas kematian tujuh Pahlawan Revolusi.
"Saya tidak bicara tentang ideologi, ini tentang kemanusiaan. Perbuatan yang menghilangkan satu nyawa pun, apalagi akibat perbedaan pandangan politik, adalah tidak benar," tuturnya.
Dia mencontohkan partai legal yang beberapa pemimpinnya membuat kesalahan, umpamnya kejahatan korupsi. "Apakah dengan korupsi itu, partainya harus dibubarkan dan semua anggotanya sampai ke tingkat cabang atau ranting harus ditangkap dan dipenjarakan?" kata dia.
Oleh karena itu, pemerintah dianggap perlu membuka dan mengakui peristiwa pelanggaran HAM berat ini, demi melepaskan beban yang menggelayuti negeri ini selama bertahun-tahun.
"Pembantaian manusia di Indonesia 1965-1966 adalah pembunuhan terbesar sejak Perang Dunia II, jumlah korban terbesar setelah Kamp Auschwitz oleh Nazi. Selama ini tidak bisa diselesaikan, Indonesia tidak akan bisa berlari cepat," tutur dia.