Jakarta (ANTARA News) - Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) Siti Nurbaya mendorong dilakukannya revisi terhadap Undang-undang No 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang di dalamnya masih mengizinkan pembakaran lahan oleh masyarakat.

Hal itu, menurut Menteri LHK di Jakarta, Minggu, ditengarai menjadi salah satu penyebab kejadian kebakaran hutan dan lahan yang selalu berulang selama 18 tahun terakhir.

"UU itu perlu direvisi sebagai bagian dari upaya pencegahan kebakaran hutan dan lahan," katanya.

Dalam penjelasan Pasal 69 ayat 2 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, dinyatakan, pembakaran lahan diperbolehkan dengan luas maksimal 2 hektare (ha).

Namun, pada kenyataannya pembakaran kerap tak terkontrol sementara kewajiban membuat sekat bakar tak dilakukan yang membuat api merembet kemana-mana.

Menurut Menteri Siti alternatif membakar untuk membuka lahan dikarenakan cara tersebut sangat murah dan terjangkau oleh masyarakat, jika menggunakan peralatan mekanis dana yang dibutuhkan untuk membuka lahan bisa mencpai Rp5 juta per hektare.

"Kalau dibakar paling hanya ratusan ribu rupiah untuk lahan berhektare-hektare," ujarnya.

Sebagai solusi, pemerintah akan menyiapkan skema-skema insentif bagi masyarakat yang tidak membakar lahan, misalnya dengan menyediakan pembiayaan tanpa bunga atau membantu pembukaan lahan secara mekanis.

"Insentifnya seperti apa nanti akan di detailkan," katanya.

Siti juga mengungkapkan berdasarkan analisis citra satelit dan pantauan lapangan, kebakaran yang terjadi lebih banyak di wilayah perkebunan, meski demikian, dia menegaskan semua pemegang konsesi pengelolaan lahan wajib menjaga arealnya dari kebakaran.

Sementara itu wakil Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Hutan Indonesia (APHI) Irysal Yasman menyambut positif rencana revisi UU No 32 tahun 2009.

Dia juga menyarankan agar ketentuan hukum di bawahnya, seperti perda, yang masih membolehkan masyarakat untuk membuka lahan dengan cara dibakar ikut direvisi.

"Adanya ketentuan yang membolehkan masyarakat membakar kontraproduktif dengan upaya pencegahan kebakaran," katanya.

Irysal juga berharap pemerintah bisa meningkatkan kepastian lahan dan mendorong penyelesaian lahan-lahan sengketa, baik yang terjadi antar perusahaan, warga dengan perusahaan, ataupun warga dengan warga.

Dia menyatakan, lahan sengketa menjadi wilayah yang kerap menjadi awal munculnya api yang berimbas pada kebakaran di areal Hutan Tanaman Industri (HTI) yang dikelola perusahaan,

"Biasanya lahan yang disengketakan ini sengaja dibakar oleh oknum," ujarnya.

Irysal menyatakan, anggotanya selalu mengalami kerugian setiap kali ada kebakaran yang terjadi di wilayah kerjanya, sebab harus kehilangan aset tanaman dan harus mengeluarkan biaya penanaman ulang, selain itu masih harus menghadapi tuduhan negatif.

Dalam rangka pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, kata Irsyal, anggota APHI di daerah telah mengupayakan berbagai langkah, antara lain meluncurkan beberapa program penting, seperti Program Desa Bebas Api, Masyarakat Peduli Api (MPA), bantuan teknologi dan peralatan mekanis kepada masyarakat untuk mengolah lahan tanpa bakar, dukungan sarana prasarana serta pemeriksaan kesehatan.

Menurut Irsyal, yang terpenting adalah kolaborasi berbagai pihak, yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah, perusahaan, masyarakat, akademisi, dan lembaga swadaya masyarakat untuk pencegahan dan pengendalian kebakaran hutan dan lahan, karena masalah ini tidak akan mungkin ditangani sendiri-sendiri.