Tindak tegas perusahaan pembakar lahan
12 September 2015 20:39 WIB
Pekerja mengoperasikan alat berat untuk menambang pasir dari Sungai Batanghari yang tertutup kabut asap di Jambi, Rabu (9/9/15). (ANTARA FOTO/Wahyu Putro A)
Jakarta (ANTARA News) - Gerakan Anti Asap Kalimantan Tengah meminta agar pemerintah menindak tegas perusahaan pembakar lahan yang menyebabkan bencana kabut asap di Sumatera dan Kalimantan.
"Kami belum menemukan satu pun perusahaan yang mendapat tindakan tegas berupa penutupan/pencabutan izin, memberikan ganti rugi, atau menjebloskannya ke penjara akibat tindakannya membakar lahan dan hutan," kata Aryo Nugroho perwakilan dari aliansi tersebut dalam rilisnya, Sabtu.
"Hal ini adalah tantangan yang harus dijawab pemerintah Jokowi-JK jika pasangan ini benar-benar memperhatikan nasib mayoritas rakyat Indonesia," tambahnya.
Aliansi tersebut telah membuka posko pengaduan yang bertujuan untuk memfasilitasi masyarakat Kalimantan Tengah yang menjadi korban akibat kebakaran hutan dan lahan. Dasar pembuatan posko tersebut, menurut mereka, didasari oleh masih minimnya peran pemerintah dalam menanggulangi kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah.
"Hal ini dapat dilihat tidak adanya skema secara menyeluruh untuk menghentikan bencana ekologis tahunan ini, dimana pemerintah hanya fokus memadamkan api namun tidak fokus kepada pencegahan sampai pada tataran pemulihan kepada masyarakat yang terdampak," ujarnya.
Selain itu, masyarakat dalam mendapatkan udara yang sehat telah dilindungi oleh Undang-Undang Dasar, Pasal 28 H ayat (1). Apabila lingkungan yang baik dan sehat sudah tidak didapatkan oleh masyarakat maka sesuai dengan mekanisme hukum masyarakat dapat melakukan gugatan.
Dasar dari gugatan tersebut, menurut aliansi itu, adalah Undang-Undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 91 ayat (1). "Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup," tuturnya.
Pemerintah juga dinilai tidak serius dengan bencana ekologis tahunan ini, dimana sejak bulan Mei 2015, BMKG telah merilis bahwa Kalimantan Tengah akan terjadi bencana El Nino dari bulan Juni-November 2015, seharusnya sejak adanya informasi ini pemerintah sudah meningkatkan status tanggap darurat asap bukan menunggu sampai kondisi parah seperti ini.
Pemerintah disebut tidak belajar dari kejadian sebelumnya dimana masalah utama dari kebakaran hutan dan lahan disebabkan adanya tanah gambut yang kering akibat dikonversi menjadi perkebunan swasta skala besar. Pemerintah tidak memperudilikan kondisi gambut yang telah rusak.
"Seharusnya pemerintah dapat mengevaluasi dan menghentikan pemberian ijin kepada pihak korporasi untuk melindungi tanah gambut," tuntut aliansi itu.
Sementara dari sisi penegakan hukum, aliansi tersebut menilai, aparat penegak hukum sebagai perpanjangan pemerintah masih mengunakan pendekatan pola lama yaitu KUHP, dalam menindak pelaku pembakaran. Pendekatan yang digunakan oleh aparat penegakan hukum akhirnya terhenti hanya kepada masyarakat yang lemah dan tidak bisa menyentuh kepada pihak korporasi.
Hal yang sama, lanjutnya, juga dilakukan oleh pihak kementerian lingkungan hidup dan kehutanan (KLHK) dalam aksi penyegelan dilokasi korporasi yang terindikasi melakukan pembakaran.
"Padahal dalam pembakaran hutan dan lahan, Undang-Undang perkebunan sudah mensyaratkan tentang tanggung jawab korporasi seperti yang diatur dalam, Pasal 56 Ayat 2 bahwa setiap pelaku usaha perkebunan berkewajiban memiliki sistem, sarana, dan prasarana pengendalian kebakaran lahan dan kebun," jelasnya.
"Kami belum menemukan satu pun perusahaan yang mendapat tindakan tegas berupa penutupan/pencabutan izin, memberikan ganti rugi, atau menjebloskannya ke penjara akibat tindakannya membakar lahan dan hutan," kata Aryo Nugroho perwakilan dari aliansi tersebut dalam rilisnya, Sabtu.
"Hal ini adalah tantangan yang harus dijawab pemerintah Jokowi-JK jika pasangan ini benar-benar memperhatikan nasib mayoritas rakyat Indonesia," tambahnya.
Aliansi tersebut telah membuka posko pengaduan yang bertujuan untuk memfasilitasi masyarakat Kalimantan Tengah yang menjadi korban akibat kebakaran hutan dan lahan. Dasar pembuatan posko tersebut, menurut mereka, didasari oleh masih minimnya peran pemerintah dalam menanggulangi kebakaran hutan dan lahan di Kalimantan Tengah.
"Hal ini dapat dilihat tidak adanya skema secara menyeluruh untuk menghentikan bencana ekologis tahunan ini, dimana pemerintah hanya fokus memadamkan api namun tidak fokus kepada pencegahan sampai pada tataran pemulihan kepada masyarakat yang terdampak," ujarnya.
Selain itu, masyarakat dalam mendapatkan udara yang sehat telah dilindungi oleh Undang-Undang Dasar, Pasal 28 H ayat (1). Apabila lingkungan yang baik dan sehat sudah tidak didapatkan oleh masyarakat maka sesuai dengan mekanisme hukum masyarakat dapat melakukan gugatan.
Dasar dari gugatan tersebut, menurut aliansi itu, adalah Undang-Undang No.32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, Pasal 91 ayat (1). "Masyarakat berhak mengajukan gugatan perwakilan kelompok untuk kepentingan dirinya sendiri dan/atau untuk kepentingan masyarakat apabila mengalami kerugian akibat pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup," tuturnya.
Pemerintah juga dinilai tidak serius dengan bencana ekologis tahunan ini, dimana sejak bulan Mei 2015, BMKG telah merilis bahwa Kalimantan Tengah akan terjadi bencana El Nino dari bulan Juni-November 2015, seharusnya sejak adanya informasi ini pemerintah sudah meningkatkan status tanggap darurat asap bukan menunggu sampai kondisi parah seperti ini.
Pemerintah disebut tidak belajar dari kejadian sebelumnya dimana masalah utama dari kebakaran hutan dan lahan disebabkan adanya tanah gambut yang kering akibat dikonversi menjadi perkebunan swasta skala besar. Pemerintah tidak memperudilikan kondisi gambut yang telah rusak.
"Seharusnya pemerintah dapat mengevaluasi dan menghentikan pemberian ijin kepada pihak korporasi untuk melindungi tanah gambut," tuntut aliansi itu.
Sementara dari sisi penegakan hukum, aliansi tersebut menilai, aparat penegak hukum sebagai perpanjangan pemerintah masih mengunakan pendekatan pola lama yaitu KUHP, dalam menindak pelaku pembakaran. Pendekatan yang digunakan oleh aparat penegakan hukum akhirnya terhenti hanya kepada masyarakat yang lemah dan tidak bisa menyentuh kepada pihak korporasi.
Hal yang sama, lanjutnya, juga dilakukan oleh pihak kementerian lingkungan hidup dan kehutanan (KLHK) dalam aksi penyegelan dilokasi korporasi yang terindikasi melakukan pembakaran.
"Padahal dalam pembakaran hutan dan lahan, Undang-Undang perkebunan sudah mensyaratkan tentang tanggung jawab korporasi seperti yang diatur dalam, Pasal 56 Ayat 2 bahwa setiap pelaku usaha perkebunan berkewajiban memiliki sistem, sarana, dan prasarana pengendalian kebakaran lahan dan kebun," jelasnya.
Pewarta: Monalisa
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015
Tags: