"Setelah kami bahas, 35.000 MW tidak mungkin dicapai lima tahun, paling mungkin itu 10 tahun," katanya, dalam jumpa pers seusai rapat koordinasi tentang listrik di Kantor Kemenko Kemaritiman, di Jakarta, Senin.
Ramli memimpin rapat yang dihadiri Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional Ferry Baldan, Dirjen Ketenagalistrikan Kementerian ESDM, Jarman, Direktur Utama PT PLN (Persero), Sofyan Basir, perwakilan Kementerian Dalam Negeri, Badan Tenaga Nuklir Nasional, perwakilan Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.
Menurut dia, jika pembangunan pembangkit listrik 35.000 MW selesai dalam lima tahun, akan ada kelebihan tenaga listrik (excess power) sebesar 21.000 MW.
"PLN akan mengalami kapasitas lebih dari beban puncak hingga 2019 yang menurut perhitungan kami sebesar 74.000 MW yaitu 21.331 MW kapasitas listrik yang tidak terpakai," katanya.
Ramli melanjutkan, sesuai aturan yang ada, perusahaan listrik itu diharuskan membeli 72 persen dari nilai listrik yang ada, baik nantinya terpakai atau tidak.
"Kalau proyek 35.000 MW betul-betul dilaksanakan 2019, akan melebihi permintaan sehingga PLN wajib beli listrik swasta sebesar tidak kurang dari 10,763 miliar dolar AS pertahun," katanya.
Rizal menambahkan, dalam lima tahun, target yang paling mungkin direalisasikan pemerintah adalah sebesar 16.000 MW hingga 18.000 MW. Jumlah itu dinilai sangat mungkin untuk dapat melayani beban puncak 2019.
Akhirnya, "Setelah kami evaluasi, ternyata yang betul-betul mungkin dan harus dalam lima tahun itu 16.000 MW-18.000 MW, itupun sangat besar. Lainnya masuk lima tahun berikutnya," katanya.