Manado (ANTARA News) - Anggota Dewan Pertimbangan Presiden (Wantimpres) KH Hasyim Muzadi mengingatkan, moderasi memiliki prinsip mengambil semua kebaikan dari pihak mana pun serta menghindari dan meninggalkan keburukan dalam bentuk apapun.

"Oleh karena itu jelas bahwa moderasi adalah kunci ketahanan bangsa," katanya dalam sambutan pada Konferensi Internasional Tahunan tentang Studi Keislaman (AICIS) ke-15 di Manado, Sulawesi Utara, Jumat.

Pada konferensi yang dihadiri rektor Perguruan Tinggi Islam seluruh Indonesia serta ilmuwan barat yang mendalami tentang Indonesia dan Islam itu KH Hasyim tampil sebagai pembicara utama bersama Prof Dr Barney Glover, Wakil Rektor pada Western Sydney University Australia.

Konferensi internasional itu sendiri bertema "Harmony in Diversity: Promoting Moderation and Preventing Conflicts in Socio-Religious Life" (Harmoni dalam Perbedaan: Mempromosikan Moderasi dan Mencegah Konflik dalam Kehidupan Sosial-Keagamaan)

Anggota Wantimpres itu lebih lanjut mengemukakan, dalam pelaksanaannya moderasi tidak hanya menyangkut keimanan dan kemanusiaan, melainkan juga membuahkan hukum yang mengikat.

Hukum itu sendiri dibagi dalam dua bentuk, yaitu Hukum Allah (Sunnatullah) dan hukum manusia yang dikondisikan sesuai dengan kesepakatan bersama.

"Bukti dari moderasi di Indonesia adalah Umat Islam menerima Pancasila sebagai dasar agama, sebuah kenyataan bahwa yang dilihat adalah esensi nilai agama yang sudah tercantum pada Pancasila, dan bukan tekstual agama yang dimunculkan," kata KH Hasyim.

Dalam tataran sosiologis, menurut Pengasuh Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Hikam Malang dan Depok itu, aspek yang paling esensial dari moderasi adalah bahwa moderasi tidak mengenal lokasi dan waktu.

Moderasi memiliki prinsip mengambil semua kebaikan dari pihak mana pun dan menghindari serta meninggalkan keburukan dalam bentuk apapun yang dalam ajaran Islam dikenal dengan terminologi "Amar makruf nahi munkar".

KH Hasyim juga mengingatkan bahwa perbedaan dan persamaan adalah ketentuan Tuhan yang sudah baku. Namun adanya perbedaan bukan halangan untuk menjalani kehidupan yang rukun dan damai.

"Prinsipnya adalah tidak memaksakan yang berbeda, dan yang beda tidak boleh disamakan, khususnya dalam masalah teologi," kata mantan Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu.

Ia menambahkan, walaupun teologi dan ritual tiap agama berbeda, sejatinya tetap ada nilai universal dalam agama yang menganjurkan pada kebaikan dan kebersamaan, antara lain diimplementasikan dalam kebersamaan membangun bangsa.