Mereka yang berjuang menuju Kudus
Oleh Fitri Supratiwi dan Monalisa
1 September 2015 19:16 WIB
Sudarwaji dan anaknya, M. Rizqy Setiaji menempuh perjalanan 235 kilometer dari Tegal menuju Kudus, Jawa Tengah menggunakan motor untuk mengikuti Audisi Djarum Beasiswa Bulu Tangkis di GOR Djarum, Kudus. (ANTARA News/Monalisa)
Kudus (ANTARA News) - Dengan menggunakan motor, Sudarwaji dan anaknya, M. Rizqy Setiaji menempuh perjalanan 235 kilometer dari Tegal menuju Kudus, Jawa Tengah.
Mereka menembus dinginnya pagi selepas subuh. Dengan kecepatan 90 km/jam, perjalanan tersebut memakan waktu lima jam.
Tidak ada waktu untuk beristirahat, karena mereka harus langsung melakukan registrasi ulang di GOR Djarum, Kudus. Setelah itu, mereka masih harus mencari kamar kos untuk menginap selama mengikuti audisi umum Djarum Beasiswa Bulu Tangkis.
Kota Kretek itu, akan menjadi tempat impian bagi Rizqy untuk bisa menjadi penghuni asrama PB Djarum demi mengejar mimpinya sebagai pemain bulu tangkis kelas dunia.
"Kaki gemetaran, ditambah bawa dua tas," kata Rizqy mengenang pengalamannya naik motor dari Tegal ke Kudus.
Menurut Sudarwaji, ia terpaksa mengantar anaknya menggunakan motor untuk menghemat biaya. "Pilih motor untuk pengiritan. Kalau sewa mobil dan sopir tidak kuat. Dengan naik motor pun jadi tidak repot selama di sini," kata pria yang berpofesi sebagai guru sekolah dasar itu.
Sudarwaji menjelaskan, ia hanya mengeluarkan biaya Rp60.000 untuk bensin dan uang makan Rp20.000 saat istirahat di tengah perjalanan. Sementara jika ia menyewa mobil, harus merogoh uang Rp300.000 untuk sewa mobil di luar biaya bensin dan uang untuk supir. Selama di Kudus, mereka menginap di kamar kos dengan biaya sewa Rp50.000 per malam.
Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya Rizqy mengikuti audisi umum. Sebelumnya, ia sudah mencoba pada tahun 2012 dan 2014. Tetapi ini adalah pengalaman pertama mereka membawa motor sendiri ke Kudus. "Kalau dulu karena bersama rombongan dari klub, memang sewa mobil," ujar Sudarwaji.
Rizqy yang kini duduk di bangku kelas 3 SMP 1 Slawi, Tegal telah bergabung di klub Satria Slawi tegal sejak kelas 3 SD. Sejumlah pertandingan Kejuaraan Cabang, Pekan Olahraga Pelajar, Olimpiade Olahraga Sekolah Nasional, dan lainnya sudah ia cicipi. Namun, ia ingin lebih berkembang dengan mencoba peruntungan di klub raksasa seperti PB Djarum.
"Saya ingin dia lebih dari saya, baik kehidupan dan materi. Jangan seperti saya hanya guru SD," tutur Sudarwaji.
Sementara Arif Suprianto yang juga berasal dari Tegal, memilih menyewa mobil meskipun harus mengelurkan uang yang tidak sedikit. Untuk mendampingi anaknya, Dhiya Viman Ashar, ia harus menyewa mobil seharga Rp300.000 untuk sekitar enam hari.
"Itu belum sama uang bensin. Saya menyetir sendiri," kata Arif. Sebelumnya, mereka sudah mencoba audisi umum yang digelar di Purwokerto juga dengan menyewa mobil selama tiga hari. Namun, Dhiya tidak lolos saat tahap pertandingan. "Demi cita-cita anak," ujarnya.
Dari luar Pulau Jawa Audisi Djarum Beasiswa Bulu Tangkis di Kudus, tidak hanya diikuti peserta yang tinggal di Jawa Tengah dan sekitarnya tetapi juga yang datang dari luar Pulau Jawa.
Salah satunya adalah Ryoga Dwikiwardana, peserta audisi U-13 (usia di bawah 13 tahun) yang datang dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. Ini adalah audisi keduanya setelah gagal pada audisi di Makassar Mei lalu.
Berdasarkan penuturan ayahnya, Winardi Salim, mereka berangkat dari Lombok menggunakan pesawat terbang namun tidak langsung ke Semarang melainkan ke Surabaya.
"Dari Surabaya kami melanjutkan dengan travel menuju Kudus," kata Winardi berprofesi sebagai wiraswasta itu.
Perjalanan panjang juga dirasakan Muhammad Maslakil Akmal (10), anak asal Timika, Papua.
Meski ayahnya yang bekerja PT Freeport mendapat jatah tiket pesawat terbang yang bisa dimanfaatkan ke Jawa, namun maskapai yang mereka gunakan hanya ada tujuan Yogyakarta yang masih cukup jauh dari Kudus.
"Kami mendapat fasilitasi penerbangan dari perusahaan, tetapi pesawat Airfast (yang disediakan perusahaannya) hanya ada tujuan Yogyakarta sehingga dari Papua kami ke Yogyakarta,' kata Hasan Samiun, ayah Muhammad Maslakil Akmal.
Dari Yogyakarta, mereka singgah di Solo menumpang di rumah kerabat ayahnya, sebelum datang ke Kudus untuk mengikuti audisi. Di Kudus, Akil --sapaan bagi Muhammad Maslakil Akmal-- tinggal di rumah kos.
Begitupun dengan Muhammad Difa. Dari rumahnya di Kabupaten Kandangan, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, Difa dan ayahnya Rahmad Irihadi harus menempuh waktu sekitar 3 jam menuju Banjarmasin. Setelah itu, mereka terbang ke Semarang, Jawa Tengah dan menuju ke Kudus.
"Ini membuktikan antusias masyarakat karena datang dari berbagai daerah," kata Rahmad terkait banyak peserta dari luar Pulau Jawa.
Anggota DPRD dari Kabupaten Hulu Sungai Selatan Kandangan itu pun mengeluarkan biaya lainnya untuk kursus privat di PB Taurus Kudus sebelum anaknya berlaga di audisi umum.
"Sebelum ikut audisi saya masukkan dia les privat di PB taurus selama beberapa hari. Biayanya Rp200 ribu dan sewa lapangan Rp50 ribu per jam," jelas Rahmad.
Ia mengaku rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit karena ingin memberikan dukungan yang penuh pada putra keduanya itu.
"Dia mau jadi atlet. Apa saja kemauannya, saya dorong sebagai orang tua," ujar Rahmad.
"Apalagi di daerah kami tidak ada klub. Kalau di Banjarmasin ada, tetapi masih banyak kekurangan di daerah. Harus ada pembinaan dibandingkan di daerah Jawa," tambahnya.
Mereka menembus dinginnya pagi selepas subuh. Dengan kecepatan 90 km/jam, perjalanan tersebut memakan waktu lima jam.
Tidak ada waktu untuk beristirahat, karena mereka harus langsung melakukan registrasi ulang di GOR Djarum, Kudus. Setelah itu, mereka masih harus mencari kamar kos untuk menginap selama mengikuti audisi umum Djarum Beasiswa Bulu Tangkis.
Kota Kretek itu, akan menjadi tempat impian bagi Rizqy untuk bisa menjadi penghuni asrama PB Djarum demi mengejar mimpinya sebagai pemain bulu tangkis kelas dunia.
"Kaki gemetaran, ditambah bawa dua tas," kata Rizqy mengenang pengalamannya naik motor dari Tegal ke Kudus.
Menurut Sudarwaji, ia terpaksa mengantar anaknya menggunakan motor untuk menghemat biaya. "Pilih motor untuk pengiritan. Kalau sewa mobil dan sopir tidak kuat. Dengan naik motor pun jadi tidak repot selama di sini," kata pria yang berpofesi sebagai guru sekolah dasar itu.
Sudarwaji menjelaskan, ia hanya mengeluarkan biaya Rp60.000 untuk bensin dan uang makan Rp20.000 saat istirahat di tengah perjalanan. Sementara jika ia menyewa mobil, harus merogoh uang Rp300.000 untuk sewa mobil di luar biaya bensin dan uang untuk supir. Selama di Kudus, mereka menginap di kamar kos dengan biaya sewa Rp50.000 per malam.
Sebenarnya, ini bukan pertama kalinya Rizqy mengikuti audisi umum. Sebelumnya, ia sudah mencoba pada tahun 2012 dan 2014. Tetapi ini adalah pengalaman pertama mereka membawa motor sendiri ke Kudus. "Kalau dulu karena bersama rombongan dari klub, memang sewa mobil," ujar Sudarwaji.
Rizqy yang kini duduk di bangku kelas 3 SMP 1 Slawi, Tegal telah bergabung di klub Satria Slawi tegal sejak kelas 3 SD. Sejumlah pertandingan Kejuaraan Cabang, Pekan Olahraga Pelajar, Olimpiade Olahraga Sekolah Nasional, dan lainnya sudah ia cicipi. Namun, ia ingin lebih berkembang dengan mencoba peruntungan di klub raksasa seperti PB Djarum.
"Saya ingin dia lebih dari saya, baik kehidupan dan materi. Jangan seperti saya hanya guru SD," tutur Sudarwaji.
Sementara Arif Suprianto yang juga berasal dari Tegal, memilih menyewa mobil meskipun harus mengelurkan uang yang tidak sedikit. Untuk mendampingi anaknya, Dhiya Viman Ashar, ia harus menyewa mobil seharga Rp300.000 untuk sekitar enam hari.
"Itu belum sama uang bensin. Saya menyetir sendiri," kata Arif. Sebelumnya, mereka sudah mencoba audisi umum yang digelar di Purwokerto juga dengan menyewa mobil selama tiga hari. Namun, Dhiya tidak lolos saat tahap pertandingan. "Demi cita-cita anak," ujarnya.
Dari luar Pulau Jawa Audisi Djarum Beasiswa Bulu Tangkis di Kudus, tidak hanya diikuti peserta yang tinggal di Jawa Tengah dan sekitarnya tetapi juga yang datang dari luar Pulau Jawa.
Salah satunya adalah Ryoga Dwikiwardana, peserta audisi U-13 (usia di bawah 13 tahun) yang datang dari Lombok, Nusa Tenggara Barat. Ini adalah audisi keduanya setelah gagal pada audisi di Makassar Mei lalu.
Berdasarkan penuturan ayahnya, Winardi Salim, mereka berangkat dari Lombok menggunakan pesawat terbang namun tidak langsung ke Semarang melainkan ke Surabaya.
"Dari Surabaya kami melanjutkan dengan travel menuju Kudus," kata Winardi berprofesi sebagai wiraswasta itu.
Perjalanan panjang juga dirasakan Muhammad Maslakil Akmal (10), anak asal Timika, Papua.
Meski ayahnya yang bekerja PT Freeport mendapat jatah tiket pesawat terbang yang bisa dimanfaatkan ke Jawa, namun maskapai yang mereka gunakan hanya ada tujuan Yogyakarta yang masih cukup jauh dari Kudus.
"Kami mendapat fasilitasi penerbangan dari perusahaan, tetapi pesawat Airfast (yang disediakan perusahaannya) hanya ada tujuan Yogyakarta sehingga dari Papua kami ke Yogyakarta,' kata Hasan Samiun, ayah Muhammad Maslakil Akmal.
Dari Yogyakarta, mereka singgah di Solo menumpang di rumah kerabat ayahnya, sebelum datang ke Kudus untuk mengikuti audisi. Di Kudus, Akil --sapaan bagi Muhammad Maslakil Akmal-- tinggal di rumah kos.
Begitupun dengan Muhammad Difa. Dari rumahnya di Kabupaten Kandangan, Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, Difa dan ayahnya Rahmad Irihadi harus menempuh waktu sekitar 3 jam menuju Banjarmasin. Setelah itu, mereka terbang ke Semarang, Jawa Tengah dan menuju ke Kudus.
"Ini membuktikan antusias masyarakat karena datang dari berbagai daerah," kata Rahmad terkait banyak peserta dari luar Pulau Jawa.
Anggota DPRD dari Kabupaten Hulu Sungai Selatan Kandangan itu pun mengeluarkan biaya lainnya untuk kursus privat di PB Taurus Kudus sebelum anaknya berlaga di audisi umum.
"Sebelum ikut audisi saya masukkan dia les privat di PB taurus selama beberapa hari. Biayanya Rp200 ribu dan sewa lapangan Rp50 ribu per jam," jelas Rahmad.
Ia mengaku rela mengeluarkan uang yang tidak sedikit karena ingin memberikan dukungan yang penuh pada putra keduanya itu.
"Dia mau jadi atlet. Apa saja kemauannya, saya dorong sebagai orang tua," ujar Rahmad.
"Apalagi di daerah kami tidak ada klub. Kalau di Banjarmasin ada, tetapi masih banyak kekurangan di daerah. Harus ada pembinaan dibandingkan di daerah Jawa," tambahnya.
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2015
Tags: