Jakarta (ANTARA News) - Menteri Hukum dan HAM, Yasonna Laoly, menegaskan, jika ada permintaan maaf untuk kasus pelanggaran HAM dalam kurun 1965-1966, maka hal itu bukan untuk Partai Komunis Indonesia (PKI), tetapi untuk korban.

"Yang jelas, hal itu masih dalam proses pembahasasan dengan beberapa lembaga seperti Komnas HAM dan Kontras, apa bentuk penyelesaian kasus pelanggaran HAM dalam kurun 1965-1966 yang terjadi pascaperistiwa Gerakan 30 September 1965 (G30S) itu," ujarnya, di Jakarta, Senin.

Setelah menghadiri rapat koordinasi Koordinator Hukum, Politik dan Keamanan di Kemenkopolhukam, Jakarta, ia mengatakan pemerintah masih mempertimbangkan, apakah akan mengeluarkan kebijakan dalam bentuk penyesalan atau permintaan maaf kepada para korban.

"Permintaan maaf akan diberikan jika pemerintah menemukan tindakan-tindakan yang tidak tepat, ketidakadilan maupun pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan pada korban pada kurun 1965-1966," kata anggota DPR periode 2004-2009 itu.

Selain itu, pemerintah juga masih menimbang, apakah langkah penyelesaian kasus tersebut dilakukan menurut pro-justitia atau non-pro justitia.

Namun, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan, Luhut Pandjaitan, mengatakan, wacana permintaan maaf kepada korban pelanggaran HAM 1965-1966 belum terpikirkan.

"Belum pernah terpikir (permintaan maaf itu)," ujar Pandjaitan, jenderal yang lama berkarir di Korps Pasukan Khusus TNI AD (dulu bernama RPKAD pada masa 1960-an), singkat ketika dikonfirmasi oleh pewarta.

Polemik penyelesaian masalah pelanggaran HAM di Indonesia terus bergulir hangat.


Sebelumnya, Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu, menolak pilihan permintaan maaf dari negara kepada korban pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi dalam kurun waktu 1965-1966 setelah Gerakan 30 September 1965 (G30S).

Saat ini, pemerintah sedang menggodok kebijakan menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang terjadi di masa lalu, termasuk pelanggaran HAM 1965-1966 yang menimpa orang-orang yang terkait ataupun terduga anggota PKI.


Salah satu cara yang dipertimbangkan adalah rekonsiliasi.

Hal ini sempat diungkapkan Kepala Kepolisian Indonesia, Jenderal Polisi Badrodin Haiti, namun menurut dia, kebijakan itu perlu sosialisasi mendalam.

Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla sendiri memiliki komitmen untuk menuntaskan kasus-kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia.

Hal tersebut terdapat dalam visi misi dan program aksi berjudul Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian, yang berisi penjabaran dari Nawa Cita.

Dalam naskah itu tertulis, "Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia, seperti Kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965".