Padahal, proyek pembangunan kereta api cepat itu belum mendapat kepastian investasi dari Jepang atau China. Kedua negara ini menawarkan investasi sekitar Rp60 triliun, China memerlukan investasi ini di tengah kelesuan pertumbuhan ekonomi negaranya.
"Rencana penggunaan PMN 2016 sebesar Rp2 triliun akan digunakan untuk mengembangkan kereta api cepat dengan rincian bagian investasi kami sebesar lima persen dari total investasi Rp60 triliun," kata Direktur Utama PT PP (Persero) Tbk, Bambang Triwibowo, dalam rapat dengar pendapat dengan Komisi VI DPR, di Jakarta, Kamis.
Dia mengatakan, investasi yang dikucurkan untuk proyek itu yakni Rp3 triliun, terdiri atas Rp900 miliar ekuitas dan pinjaman sebesar Rp2,1 triliun.
Perseroan itu sendiri, secara total mengajukan PMN tahun anggaran 2016 sebesar Rp2 triliun yang rencananya akan digunakan untuk mengembangkan dan membangun pelabuhan, HST serta jalan tol.
Ada pun PT Wijaya Karya (Persero) Tbk mengajukan PMN tahun anggaran 2016 sebesar Rp3 triliun.
Khusus untuk proyek kereta cepat Jakarta-Bandung, perseroan akan menanamkan modal sebesar 23 persen dari total investasi proyek yang mencapai Rp60 triliun yakni sebesar Rp13,8 triliun.
"Rinciannya yaitu Rp3,45 triliun dari ekuitas dan pinjaman sebesar Rp10,35 triliun," kata Direktur Utama Wijaya Karya, Bintang Perbowo.
Menanggapi pengajuan kedua perusahaan untuk proyek HST, sejumlah anggota Komisi VI DPR menilai proyek yang belum pasti itu tidak seharusnya diajukan PMN-nya.
Tifatul Sembiring mengatakan, Parlemen tidak bisa tiba-tiba menyetujui PMN untuk proyek-proyek yang belum jelas kepastiannya, terlebih nilainya teramat besar.
"Pada dasarnya infrastruktur itu bagus, kami sangat mendukung hal itu, tapi kalau tiba-tiba setujui PMN dan sebagainya tanpa ada kepastiannya bagaimana? Ini nilai (investasinya) besar sekali," katanya.