Kemenhub tak atur ojek sebagai angkutan umum
27 Agustus 2015 18:15 WIB
ilustrasi--Pengendara ojek mengantar kebutuhan pokok dari Marauke, Papua ke Papua Nugini melintas perbatasan Indonesia-Papua Nugini di Distrik Sota, Merauke, Papua, Jumat (20/3/15). Sejumlah desa di Papua Nugini yang berbatasan langsung dengan Indonesia sangat mengandalkan ojek untuk mengangkut kebutuhan pokok dengan tarif Rp300 ribu - Rp500 ribu sekali antar dari Distrik Sota (sekitar3 jam perjalanan), dibandingkan jarak tempuh ke kota terdekat di Papua Nugini bisa memakan waktu 2-3 hari. (ANTARA FOTO/Akbar Nugroho Gumay)
Yogyakarta (ANTARA News) - Kementerian Perhubungan menegaskan tidak akan mengatur atau memasukkan ojek sebagai angkutan umum ke dalam undang-undang karena faktor risiko keselamatan yang tinggi.
"Kita tidak akan mengatur ojek sebagai angkutan umum resmi, memberikan manfaat ya, tapi dari sisi keselamatan tidak," kata Sekretaris Jenderal Kementerian Perhubungan Sugihardjo usai konferensi pers pada Kelompok Kerja Fasilitasi Angkutan Asean (TFWG) di Yogyakarta, Kamis.
Sugihardjo juga mengatakan secara fasilitas, ojek tidak memenuhi standar minimum bagi penumpang.
"Sepeda motor itu tidak safe (aman), selain itu kalau panas kepanasan dan kalau hujan kehujanan, jadi secara formal ojek itu bukan angkutan umum," katanya.
Menurut dia, baik ojek konvensional maupun ojek "online" merupakan fenomena sosial yang muncul karena faktor angkutan umum yang semakin tidak memfasilitasi kebutuhan penumpang.
"Jadi saat ini last mile atau jarak terakhir penumpang dari angkutan umum ke rumah itu jauh, akhirnya mereka mau tidak mau naik ojek," katanya.
Padahal, dia menambahkan semakin kecil ukuran ojek, maka akan semakin tinggi indeks biayanya.
"Contoh, indeks biaya metromini 100, turun lagi ke mikrolet bisa 175, turun lagi ke ojek bisa 350," katanya.
Artinya, Sugihardjo menambahkan jika indeks biaya semakin tinggi, maka beban ekonomi suatu negara semakin berat.
"Rata-rata biaya transportasi saja sudah 12-15 persen, otomatis ada biaya lain yang harus dikecilkan, mana untuk biaya pendidikan atau kesehatan," katanya.
Dia menilai dengan adanya fenomena ojek atau taksi "online" tidak bisa dipungkiri dengan sistem teknologi caggihnya yang memudahkan penumpang, namun akan lebih baik lagi jika mengantongi izin resmi.
"Tugas pemerintah saat ini adalah bagaimana memperbaiki angkutan umum karena jika sarana angkutan umum baik, berangsur-angsur masyarakat akan beralih dari ojek," katanya.
Sementara itu, menurut Pakar Transportasi Universitas Katholik Soegijapranata Semarang Djoko Setijowarno menilai ojek masih ditolelir untuk angkutan barang, bukan angkutan penumpang.
"Apapun bentuk layanan ojek, tetap lah sepeda motor bukan kendaraan yang berkeselamatan," katanya.
Dia menjelaskan ojek tidak termasuk ke dalam angkutan umum di dalam peraturan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
"Sepeda motor itu untuk angkutan lingkungan, bukan angkutan perkotaan di jalan-jalan utama, di negara-negara maju pakainya sepeda listrik karena kecepatannya tidka boleh tinggi," katanya.
Selain itu, menurut dia, angkutan umum wajib melakukan pengujian kendaraan bermotor atau uji kir karena terkait keselamatan untuk mengangkut orang, sementara sepeda motor tidak melalui uji tersebut.
Djoko menambahkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor Tahun 2014 Tentang Angkutan Jalan Pasal 10 Ayat 4, yakni persyaratan teknis untuk sepda motor meliputi, muatan memiliki lebar tidak melebihi stang kemudi, tinggi muatan tidak melebihi 900 milimeter dari atas tempat duduk pengemudi dan barang muatan ditempatkan di belakang pengemudi.
"Seharusnya angkutan umum berbadan hukum, tergantung kebijakan walikota, bupati atau gubernurnya," katanya.
"Kita tidak akan mengatur ojek sebagai angkutan umum resmi, memberikan manfaat ya, tapi dari sisi keselamatan tidak," kata Sekretaris Jenderal Kementerian Perhubungan Sugihardjo usai konferensi pers pada Kelompok Kerja Fasilitasi Angkutan Asean (TFWG) di Yogyakarta, Kamis.
Sugihardjo juga mengatakan secara fasilitas, ojek tidak memenuhi standar minimum bagi penumpang.
"Sepeda motor itu tidak safe (aman), selain itu kalau panas kepanasan dan kalau hujan kehujanan, jadi secara formal ojek itu bukan angkutan umum," katanya.
Menurut dia, baik ojek konvensional maupun ojek "online" merupakan fenomena sosial yang muncul karena faktor angkutan umum yang semakin tidak memfasilitasi kebutuhan penumpang.
"Jadi saat ini last mile atau jarak terakhir penumpang dari angkutan umum ke rumah itu jauh, akhirnya mereka mau tidak mau naik ojek," katanya.
Padahal, dia menambahkan semakin kecil ukuran ojek, maka akan semakin tinggi indeks biayanya.
"Contoh, indeks biaya metromini 100, turun lagi ke mikrolet bisa 175, turun lagi ke ojek bisa 350," katanya.
Artinya, Sugihardjo menambahkan jika indeks biaya semakin tinggi, maka beban ekonomi suatu negara semakin berat.
"Rata-rata biaya transportasi saja sudah 12-15 persen, otomatis ada biaya lain yang harus dikecilkan, mana untuk biaya pendidikan atau kesehatan," katanya.
Dia menilai dengan adanya fenomena ojek atau taksi "online" tidak bisa dipungkiri dengan sistem teknologi caggihnya yang memudahkan penumpang, namun akan lebih baik lagi jika mengantongi izin resmi.
"Tugas pemerintah saat ini adalah bagaimana memperbaiki angkutan umum karena jika sarana angkutan umum baik, berangsur-angsur masyarakat akan beralih dari ojek," katanya.
Sementara itu, menurut Pakar Transportasi Universitas Katholik Soegijapranata Semarang Djoko Setijowarno menilai ojek masih ditolelir untuk angkutan barang, bukan angkutan penumpang.
"Apapun bentuk layanan ojek, tetap lah sepeda motor bukan kendaraan yang berkeselamatan," katanya.
Dia menjelaskan ojek tidak termasuk ke dalam angkutan umum di dalam peraturan Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan.
"Sepeda motor itu untuk angkutan lingkungan, bukan angkutan perkotaan di jalan-jalan utama, di negara-negara maju pakainya sepeda listrik karena kecepatannya tidka boleh tinggi," katanya.
Selain itu, menurut dia, angkutan umum wajib melakukan pengujian kendaraan bermotor atau uji kir karena terkait keselamatan untuk mengangkut orang, sementara sepeda motor tidak melalui uji tersebut.
Djoko menambahkan menurut Peraturan Pemerintah Nomor Tahun 2014 Tentang Angkutan Jalan Pasal 10 Ayat 4, yakni persyaratan teknis untuk sepda motor meliputi, muatan memiliki lebar tidak melebihi stang kemudi, tinggi muatan tidak melebihi 900 milimeter dari atas tempat duduk pengemudi dan barang muatan ditempatkan di belakang pengemudi.
"Seharusnya angkutan umum berbadan hukum, tergantung kebijakan walikota, bupati atau gubernurnya," katanya.
Pewarta: Juwita TR
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015
Tags: