Jakarta (ANTARA News) - Pengamat politik dari Universitas Negeri Jakarta, Ubedilah Badrun, mengatakan, riset mendalam diperlukan sebelum pemerintah memutuskan melakukan rekonsiliasi atau pemulihan hubungan dengan para korban pelanggaran HAM pada 1965-1966, yang terjadi pasca G30S/PKI pada 1965 (G30S).

"Saya kira perlu ada riset mendalam tentang ide rekonsiliasi dan dampak yang akan ditimbulkannya," ujar Badrun, di Jakarta, Selasa.

Dia melanjutkan, dengan riset yang akan menghasilkan data-data yang valid itu, pemerintah akan bisa menjamin stabilitas nasional.


Sebab permasalahan pada 1965-1966 bersifat sensitif dan merupakan hal serius karena ada jutaan orang yang menjadi korban, baik meninggal atau dihukum tanpa proses peradilan.

Ditambah lagi pola pikir masyarakat yang kebanyakan belum berubah tentang peristiwa G30S, sehingga belum bisa memaknai rekonsiliasi.

"Karenanya perlu dilakukan publikasi-publikasi ilmiah untuk membangun kesadaran publik tentang pentingnya rekonsiliasi," ujar dia.

Selain riset mendalam, dia juga meminta pemerintah untuk mempertimbangkan pencabutan Ketetapan MPR Sementara (MPRS) Nomor XXV/1996 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang Di Seluruh Wilayah Negara Republik Indonesia Bagi Partai Komunis Indonesia Dan Larangan Setiap Kegiatan Untuk Menyebarkan Atau Mengembangkan Paham Atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme.

Dia menyadari langkah ini akan sangat berat, berkaca saat masa kepemimpinan Presiden Abdurrahman Wahid, yang akrab disapa Gus Dur.

Pada masa kepemimpinannya sebagai Presiden, Gus Dur pernah mengajukan usulan untuk mencabut Tap MPRS XXV/1966, namun ditolak MPR yang saat itu diketuai Amien Rais.