Pansel KPK tanyakan soal remisi kepada Johan Budi
25 Agustus 2015 19:17 WIB
Ketua Panitia Seleksi Calon Pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (Pansel KPK) Destry Damayanti (kedua kiri) bersama anggota Pansel KPK, Betti S. Alisjahbana (kiri), Enny Nurbaningsih (kedua kanan) dan Supra Wimbarti (kanan) mewawancarai calon pimpinan KPK di Gedung Sekretariat Negara, Jakarta, Senin (24/8). (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)
Jakarta (ANTARA News) - Calon pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi Johan Budi Sapto Pribowo menyatakan tidak setuju bila narapidana kasus korupsi mendapatkan remisi atau pengurangan masa hukuman.
"Saya tidak setuju koruptor dapat remisi karena kalau kita sepakat korupsi adalah kejahatan luar biasa, tidak balance kalau korupsi sebagai kejahatan luar biasa disamakan dengan pencuri ayam yang nilainya hanya Rp50-60 ribu," kata Johan dalam tes wawancara di depan 9 anggota panitia seleksi (pansel) KPK di Gedung Sekretariat Negara (Setneg) Jakarta, Selasa.
Johan adalah peserta keempat yang mengikuti tes wawancara.
Namun jawaban itu dibalas oleh anggota pansel Harkristuti Harkrisnowo yang menyatakan jaksa KPK tidak menuntut terdakwa korupsi dengan maksimal. "Tapi jaksa tidak mengajukan tuntutan tinggi?" tanya Harkristuti.
"Saya beda pendapat soal itu, kalau statement harus ada data empiris. Tuntutan itu berdasarkan pasal yang disangkakan, mana mungkin melebihi karena itu yang ada di Undang-undang, kecuali pasal 12 yang bisa sampai seumur hidup, semangatnya (penuntutan) secara maksimal, karena jaksa KPK tidak bisa menuntut lebih dari yang ditetapkan Undang-undang itu," ungkap Johan.
Johan pun berpendapat bahwa pencegahan dan penindakan di KPK harus berjalan secara simultan meski selama ini KPK lebih banyak disorot dari penindakan.
"Buat saya pencegahan dan penindakan itu harus simultan dengan kecepatan yang sama, tidak boleh pencegahan melebihi penindakan, tidak ada arti pencegahan tanpa penindakan. Persepsi KPK itu lebih banyak penindakan dari pada pencegahan, padahal anggaran di KPK hampir sama dengan penindakan, program juga lebih banyak pencegahan, tapi persepsi publik dari media yaitu seperti dalam makalah saya, dari 20 ribu lebih berita di media cetak, hanya 6,05 persen yang membicarakan pencegahan," jelas Johan.
Padahal menurut Johan pada 2015 ada sejumlah program pencegahan seperti pendidikan berbasis keluarga, "Saya Perempuan Antikorupsi" dan pelatihan antikorupsi kepada 1.000 guru, pengkajian mengenai mengkaji haji, imigrasi, dan gerakan nasional penyelamatan sumber daya alam dan program lainnya.
Saat ini menurut Johan, KPK sedang mengembangkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) berbasis elektronik (e-LHKPN).
"Kami mengembangkan e-LHKPN sejak 2014 lalu jadi seorang penyelenggara negara dengan mudah memasukkan di komputernya bila dia baru jual mobil dan langsung terhubung dengan data LHKPN. Paling lambat program tersebut akan diluncurkan pada Desember ini," jelas Johan.
Selanjutnya KPK menurut Johan sedang mengembangkan program gratifikasi agar dapat lebih jelas mana yang masuk gratifikasi dan mana yang tidak.
"Termasuk soal gratifikasi juga sekarang sedang dibuat aturan batasan berapa sih orang harus melaporkan hadiah itu, kemarin sedang kami buat draft-nya. Sekarang sudah ada pokja-pokja (kelompok kerja) di kementerian, ini kemajuan yang baik. Di Kementerian Keuangan juga dikembangkan ke eselon 3," ungkap Johan.
Pada hari ini ada tujuh orang yang mendapat giliran tes wawancara yaitu Giri Suprapdiono (Direktur Gratifikasi KPK), Hendardji Soepandji (Presiden Karate Asia Tenggara SEAKF), Jimly Asshiddiqie (Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI), Johan Budi Sapto Pribowo (Plt Pimpinan KPK), Laode Muhamad Syarif (Lektor FH Universitas Hasanudin), Moh Gudono (Ketua Komite Audit UGM), Nina Nurlina Pramono (Direktur Eksekutif Pertamina Foundation).
"Saya tidak setuju koruptor dapat remisi karena kalau kita sepakat korupsi adalah kejahatan luar biasa, tidak balance kalau korupsi sebagai kejahatan luar biasa disamakan dengan pencuri ayam yang nilainya hanya Rp50-60 ribu," kata Johan dalam tes wawancara di depan 9 anggota panitia seleksi (pansel) KPK di Gedung Sekretariat Negara (Setneg) Jakarta, Selasa.
Johan adalah peserta keempat yang mengikuti tes wawancara.
Namun jawaban itu dibalas oleh anggota pansel Harkristuti Harkrisnowo yang menyatakan jaksa KPK tidak menuntut terdakwa korupsi dengan maksimal. "Tapi jaksa tidak mengajukan tuntutan tinggi?" tanya Harkristuti.
"Saya beda pendapat soal itu, kalau statement harus ada data empiris. Tuntutan itu berdasarkan pasal yang disangkakan, mana mungkin melebihi karena itu yang ada di Undang-undang, kecuali pasal 12 yang bisa sampai seumur hidup, semangatnya (penuntutan) secara maksimal, karena jaksa KPK tidak bisa menuntut lebih dari yang ditetapkan Undang-undang itu," ungkap Johan.
Johan pun berpendapat bahwa pencegahan dan penindakan di KPK harus berjalan secara simultan meski selama ini KPK lebih banyak disorot dari penindakan.
"Buat saya pencegahan dan penindakan itu harus simultan dengan kecepatan yang sama, tidak boleh pencegahan melebihi penindakan, tidak ada arti pencegahan tanpa penindakan. Persepsi KPK itu lebih banyak penindakan dari pada pencegahan, padahal anggaran di KPK hampir sama dengan penindakan, program juga lebih banyak pencegahan, tapi persepsi publik dari media yaitu seperti dalam makalah saya, dari 20 ribu lebih berita di media cetak, hanya 6,05 persen yang membicarakan pencegahan," jelas Johan.
Padahal menurut Johan pada 2015 ada sejumlah program pencegahan seperti pendidikan berbasis keluarga, "Saya Perempuan Antikorupsi" dan pelatihan antikorupsi kepada 1.000 guru, pengkajian mengenai mengkaji haji, imigrasi, dan gerakan nasional penyelamatan sumber daya alam dan program lainnya.
Saat ini menurut Johan, KPK sedang mengembangkan Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) berbasis elektronik (e-LHKPN).
"Kami mengembangkan e-LHKPN sejak 2014 lalu jadi seorang penyelenggara negara dengan mudah memasukkan di komputernya bila dia baru jual mobil dan langsung terhubung dengan data LHKPN. Paling lambat program tersebut akan diluncurkan pada Desember ini," jelas Johan.
Selanjutnya KPK menurut Johan sedang mengembangkan program gratifikasi agar dapat lebih jelas mana yang masuk gratifikasi dan mana yang tidak.
"Termasuk soal gratifikasi juga sekarang sedang dibuat aturan batasan berapa sih orang harus melaporkan hadiah itu, kemarin sedang kami buat draft-nya. Sekarang sudah ada pokja-pokja (kelompok kerja) di kementerian, ini kemajuan yang baik. Di Kementerian Keuangan juga dikembangkan ke eselon 3," ungkap Johan.
Pada hari ini ada tujuh orang yang mendapat giliran tes wawancara yaitu Giri Suprapdiono (Direktur Gratifikasi KPK), Hendardji Soepandji (Presiden Karate Asia Tenggara SEAKF), Jimly Asshiddiqie (Ketua Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu RI), Johan Budi Sapto Pribowo (Plt Pimpinan KPK), Laode Muhamad Syarif (Lektor FH Universitas Hasanudin), Moh Gudono (Ketua Komite Audit UGM), Nina Nurlina Pramono (Direktur Eksekutif Pertamina Foundation).
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015
Tags: