Medan (ANTARA News) - Ketua Komisi II DPR yang juga Wakil Ketua Pimpinan Badan Pengkajian MPR Rambe Kamarul Zaman mengatakan rekonsiliasi pemerintah dengan para korban pelanggaran HAM tahun 1965-1966 sudah diatur Ketetapan MPR Nomor I tahun 2003.
"Sebenarnya rekonsiliasi itu sudah ada di Ketetapan MPR Nomor I tahun 2003 yang mengandung makna seluruh warga negara, apapun latar belakangnya, memiliki hak yang sama, tidak boleh dibeda-bedakan, dan berpegang pada demokrasi serta hak asasi manusia," ujar Rambe usai menghadiri Seminar Nasional tentang Penataan Kewenangan Mahkamah Agung dalam Memperkuat Pelaksanaan Kekuasaan, Kehakiman dan Prinsip Negara Hukum di Medan, Sabtu.
Ia melanjutkan, hingga saat ini Indonesia masih melarang segala simbol yang berhubungan dengan Partai Komunis Indonesia. PKI masih dianggap sebagai penyebab terjadinya Gerakan 30 September (G30S), awal mula peristiwa pelanggaran HAM pada tahun 1965-1966.
Padahal, setiap orang meskipun dia keturunan anggota PKI tetap memiliki hak yang sama seperti warga Indonesia lainnya.
"Semua orang memiliki hak, misalnya bisa menjadi pegawai negeri. Tidak boleh ada pembedaan," katanya.
Adapun Tap MPR yang dimaksud Rambe adalah Ketetapan MPR Nomor I tahun 2003 tentang Peninjauan terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan MPR Sementara dan Ketetapan MPR RI Tahun 1960 Sampai Dengan 2002.
Pasal 2 ayat 1 Ketetapan MPR RI tersebut menyebutkan bahwa "Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan Sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh
Wilayah Negara Republik Indonesia bagi Partai Komunis Indonesia dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Paham atau Ajaran Komunis/Marxisme Leninisme, dinyatakan tetap berlaku dengan ketentuan seluruh ketentuan dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara Republik Indonesia Nomor XXV/MPRS/1966 ini ke depan diberlakukan dengan berkeadilan dan menghormati hukum, prinsip demokrasi dan hak asasi manusia.
Polemik penyelesaian masalah pelanggaran HAM di Indonesia bergulir hangat akhir-akhir ini. Sebelumnya, Menteri Pertahanan Ryamizard Ryacudu menyatakan menolak pilihan permintaan maaf dari negara kepada korban pelanggaran HAM yang terjadi dalam kurun waktu 1965-1966 setelah adanya gerakan 30 September 1965 (G30S).
"Pakai logika saja, yang memberontak (saat G30S) itu siapa. Masa mereka yang berontak, negara yang harus meminta maaf?" ujar Ryamizard, yang meyakini bahwa yang melakukan pemberontakan saat G30S adalah Partai Komunis Indonesia.
Pemerintah saat ini sedang menggodok kebijakan untuk menyelesaikan berbagai kasus pelanggaran HAM di Indonesia yang terjadi di masa lalu, termasuk pelanggaran HAM tahun 1965-1966 yang menimpa orang-orang yang terkait ataupun terduga anggota PKI Indonesia. Salah satu cara yang dipertimbangkan adalah rekonsiliasi.
Hal ini sempat diungkapkan oleh Kapolri Jenderal Badrodin Haiti, namun menurutnya kebijakan itu perlu sosialisasi mendalam.
"Tentu itu suatu niat yang baik tapi proses itu harus disosialisasikan ke seluruh jajaran dan masyarakat, jangan sampai salah interpretasi apa yang dimaksud rekonsiliasi dan bagaimana konsepnya, tentu semuanya harus memahami," kata Badrodin.
Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla berkomitmen untuk menuntaskan penyelesaian kasus-kasus pelanggaran HAM yang pernah terjadi di Indonesia.
Hal tersebut terdapat dalam visi misi dan program aksi berjudul Jalan Perubahan Untuk Indonesia yang Berdaulat, Mandiri dan Berkepribadian, yang berisi penjabaran dari Nawa Cita.
Dalam naskah tersebut tertulis, "Kami berkomitmen menyelesaikan secara berkeadilan terhadap kasus-kasus pelanggaran HAM di masa lalu yang sampai dengan saat ini masih menjadi beban sosial politik bagi bangsa Indonesia, seperti Kerusuhan Mei, Trisakti-Semanggi 1 dan 2, Penghilangan Paksa, Talang Sari-Lampung, Tanjung Priok, Tragedi 1965".
Komnas HAM sejak tahun 2008 melakukan penyelidikan tentang kejadian tahun 1965-1966 pascaperistiwa Gerakan 30 September yang menyebabkan jatuhnya korban jiwa warga Indonesia yang terkait maupun terduga anggota PKI dan afiliasinya, sementara sejumlah orang lainnya diasingkan dan dipenjara.
Pada tahun 2012, Komnas HAM menyimpulkan bahwa kejadian tahun 1965-1966 termasuk pelanggaran HAM berat menurut Undang-Undang (UU) No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.
Pasal 9 UU tersebut dinyatakan ada 10 perbuatan yang dikategorikan kejahatan kemanusiaan, yaitu pembunuhan, pemusnahan, perbudakan, pengusiran atau pemindahan penduduk secara paksa, perampasan kemerdekaan atau perampasan kebebasan fisik lain, penyiksaan, perkosaan, penganiayaan terhadap suatu kelompok tertentu, penghilangan orang secara paksa, atau kejahatan apartheid.
Komnas HAM menyatakan sembilan dari 10 perbuatan tersebut ditemukan dalam kasus 1965-1966.
Acara Seminar Nasional tentang Penataan Kewenangan Mahkamah Agung dalam Memperkuat Pelaksanaan Kekuasaan, Kehakiman dan Prinsip Negara Hukum yang diadakan di Hotel Arya Duta, Medan, Sabtu, dihadiri oleh beberapa anggota MPR seperti Martin Hutabarat, Junimar Girsang, dan Damayanti Lubis.
(M054/A013)
Legislator: rekonsiliasi korban 1965-1966 diatur Ketetapan MPR
22 Agustus 2015 21:47 WIB
Ketua Komisi II DPR RI, Rambe Kamarul Zaman (Zul Sikumbang) (------)
Pewarta: Michael Siahaan
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015
Tags: