Jakarta (ANTARA News) - Paskibraka atau Pasukan Pengibar Bendera Pusaka menjadi bagian tersendiri dalam memperingati upacara Kemerdekaan Republik Indonesia.

Menurut sejarawan Asvi Marwan, Paskibraka lahir pada tahun 1946, pada saat ibukota Indonesia dipindahkan ke Yogyakarta.

"Tahun 1945 pengibaran bendera masih secara spotan, tahun 1946 baru mulai dibentuk para pemuda pemudi yang bertugas mengibarkan bendera," kata dia kepada ANTARA News, di Jakarta, Minggu.

Pada saat itu, Asvi mengatakan, pasukan pengibar bendera hanya beranggotakan lima orang yang terdiri dari tiga pemuda dan dua pemudi yang berasal dari berbagai daerah yang saat itu sedang bersekolah di Yogyakarta.

Para paskibraka tersebut dilatih oleh Husein Mutahar, yang merupakan ajudan presiden Soekarno kala itu.

Jumlah anggota paskibraka bertambah, hingga pada 1950, menurut Asvi, telah lebih dari lima orang. Dua putri presiden Soekarno pun pernah menjadi anggota Paskibraka.

"Dua anak presiden juga pernah menjadi anggota paskibraka, tahun 1964 Megawati, dan pada tahun 1965 Rachmawati," ujar dia.

Tahun 1967, Husein Mutahar kembali dipanggil oleh presiden saat itu, Soeharto, untuk menangani pengibar bendera pusaka di mana dia mengembangkan formasi Paskibraka yang masih digunakan hingga saat ini.

"Tahun 1967 baru ada pengaturan yang lebih rapi. Dia (Husein Mutahar) yang mengatur pasukan 17 pengiring, pasukan 8 pembawa, pasukan 45 pengawal," kata Asvi.

Tidak hanya sampai di situ, menurut Asvi, Husein Mutahar berkeinginan pengibaran bendera pusaka dilakukan oleh para pemuda pemudi dari seluruh penjuru Tanah Air.

"Tahun 1945 dikibarkan oleh dua orang, tahun 1946 oleh pelajar yang ada di Yogya pada saat itu, kemudian tahun 1969 baru ada wakil dari propinsi," kata dia.

"Itu disengaja untuk menanamkan nasionalisme kepada para pemuda," sambung dia.

Semangat nasionalisme juga masih membara pada diri Finitya Arlini Cita (24), purna Paskibraka Propinsi Jawa Timur 2008. Penggemblengan yang dia dapat kala menjadi anggota pasukan 45 sangat berdampak positif kepada dirinya saat ini.

"Lebih disiplin karena digembleng tidak hanya fisik, jiwa dan raga juga. Selain itu rasa solidaritas juga meningkat kerena saat pelatihan, jika satu salah semuanya kena hukuman," kata dia.

Lebih dari itu, perempuan yang saat ini bekerja sebagai abdi negara di lingkup Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan itu juga merasa nasionalisme dan rasa cintanya kepada tanah air bertambah.

Awalnya, Finitya mengaku tidak tertarik menjadi Paskibraka dan bersikap acuh tak acuh atau "cuek" terhadap tanah air. Sampai pada akhirnya dia bangga dapat "terjerumus" di jalan yang benar, menjadi anggota Paskibraka.

"Awalnya enggak tertarik, ngapain ikut paskibraka panas-panasan, harus potong rambut pendek karena waktu itu rambut aku panjang, kemudian diminta bergabung, dan akhirnya jatuh cinta," ujar Finitya.

"Karena aku menemukan sesuatu yang berbeda, setelah tahu maknanya lebih dalam, pengorbanan pejuang itu engga bisa dibayar, dan nasionalisme jelas bertambah," sambung dia.

Hal senada juga disampaikan Ayu Wulan Sari (24), purna Paskibraka Kabupaten Bojonegoro 2007 yang mengatakan bahwa didikan saat menjadi pasukan 8 masih melekat pada dirinya.

Lebih lanjut, Pendiri Yayasan Hijab Indonesia dan pemilik Wedding Organizer Hijab Shatara Indonesia itu juga mengaku penggemblengan Paskibraka membentuk karakter yang sangat bermanfaat dalam profesinya saat ini sebagai entrepreneur.

"Dalam mendirikan sebuah usaha pasti mengalami up and down, manajemen sangat berpengaruh, dan yang pasti harus benar-benar tough, harus kuat mental, ini juga yang saya dapat dari Paskibraka," kata Ayu.

Raras Kiranasari (20), mahasiswa London School Public Relations jurusan Mass Communication, berpendapat bahwa Paskibraka masih menjadi senjata ampuh untuk meningkatkan rasa nasionalisme bagi pemuda.

"Karena membawa pusaka merah putih itu diperlukan semangat kebangsaan dan jiwa yang disiplin, dan melalui pelatihan Paskibraka, tanggung jawab dan patriotisme pemuda akan tumbuh," kata dia.

Sebagai pemuda, menurut Raras, mengisi kemerdekaan bukan lagi dengan tenaga dan nyawa, melainkan dengan prestasi, berkontribusi dengan aksi untuk mengharumkan nama negara.

"Misalnya, aku anak komunikasi yang punya ketertarikan tentang masalah penikahan usia dini, jadi aku buat sebuah campaign untuk menyarankan menikah di usia ideal menggunakan gambar ilustrasi di media sosial," ujar Raras.

"Jadi mengaplikasikan apa yang kita pelajari dikehidupan sosial," tambah dia.

Hingga saat ini baik Finitya maupun Ayu merasa memilki adrenalin yang berbeda saat melihat bendera pusaka dikibarkan. Tidak hanya sekedar kain berwarna merah putih, namun keduanya melihat perjuangan para pahlwan dibalik itu.

"Cita-cita kemerdekaan masih panjang, cita-cita Pancasila masih belum terwujud, aku masih punya banyak hutang pada Negara," pungkas Finitya.