Jakarta (ANTARA News) - Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam pidato kenegaraannya di hadapan Sidang Tahunan MPR RI, Jumat (15/8), mengungkapkan kegemilangan demokrasi dengan merujuk pada peningkatan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI).

Angka indeks demokrasi yang disebutkkan Presiden dalam pidatonya, yaitu 73,04 poin, merujuk pada penghitungan IDI oleh Badan Pusat Statistik (BPS).

Penyusunan IDI bertujuan untuk memberikan gambaran secara statistik mengenai perkembangan demokrasi politik di Indonesia, yang dilakukan oleh BPS bersama Kementerian Koordinator Bidang Politik Hukum dan Keamanan (Kemenkopolhukam), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), Kementerian Dalam Negeri, dan UNDP.

IDI dibagi dalam tiga kategori, yaitu buruk (di bawah 60 poin), sedang (60-80 poin), dan baik (di atas 80 poin). Pencapaian IDI 2014 yang mencapai 73,04 tergolong kategori sedang, dan membaik 9,32 poin dari tahun sebelumnya sekaligus menjadi capaian tertinggi dalam sejarah enam tahun penghitungan IDI.

Capaian tersebut, menurut BPS, telah melampaui target dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2010-2014 yang dipatok sebesar 73,00 poin.

Nilai IDI 2014 merupakan yang tertinggi sejak penghitungan pertama tahun 2009. Pada tahun tersebut, IDI tercatat sebesar 67,30 poin yang kemudian turun pada 2010 menjadi 63,17 poin. Pada 2011 IDI menjadi 65,48 poin, kemudian turun pada 2012 menjadi 62,63 poin, 2013 sebesar 63,72 poin dan 2014 sebesar 73,04 poin.

Berdasarkan data BPS, IDI merupakan indeks komposit dari tiga aspek, 11 variabel, dan 28 indikator. Tiga aspek tersebut adalah Kebebasan Sipil, Hak-hak Politik dan Lembaga Demokrasi.

Dari tiga aspek tersebut, hanya aspek Kebebasan Sipil yang masuk kategori baik dengan nilai 82,62. Dua aspek lain, yaitu Hak Politik dan Lembaga Demokrasi, masuk kategori sedang dengan nilai masing-masing secara berurutan 63,72 dan 75,81 poin.

Metodologi penghitungan IDI menggunakan empat sumber data, yaitu surat kabar, dokumen pemerintahan seperti peraturan daerah dan peraturan gubernur, diskusi kelompok terfokus (focus group discussion/FGD), dan wawancara.

Pengumpulan data IDI mengombinasikan pendekatan kuantitatif dan kualitatif sebagai tahapan yang saling melengkapi. Data kualitatif dikumpulkan dari berita surat kabar dan dokumen tertulis.

Temuan kualitatif tersebut dielaborasi melalui diskusi kelompok untuk kemudian diverifikasi melalui wawancara dengan narasumber kompeten.

Kepala BPS Suryamin mengatakan IDI 2014 mengalami perbaikan nilai dari berbagai indikator, khususnya terkait dengan kenaikan skor dalam indikator pemilihan umum.

Sumbangan terbesar yang mendongkrak IDI 2014 memang sebagian besar disumbang oleh persoalan sistemik dan prosedural. Penyelenggaraan pemilu legislatif 2014 menjadi pendongkrak skor IDI terutama dalam aspek Hak-hak Politik.

Perbaikan melalui pemilu ditandai dengan meningkatnya skor indikator kualitas daftar pemilih tetap (DPT) dari 30,00 pada 2013 menjadi 74,64 pada 2014.

Indikator lain yang meningkat antara lain Hak Memilih dan Dipilih dari 84,52 menjadi 95,75, Fasilitas bagi Pennyandang Cacat dalam Menggunakan Hak Pilih dari 50,00 menjadi 60,00.

Kekurangan

Di balik pencapaian demokrasi yang memang membaik selama 2014, masih terdapat aspek yang perlu diperbaiki dengan merujuk pada laporan BPS.

Hal yang perlu diperbaiki tersebut adalah kinerja DPR dan DPRD yang masih buruk, misalnya dalam tugas pengalokasian dana dan pengawasan penyelenggara negara. IDI juga masih menunjukkan hal-hal yang memprihatinkan, misalnya masih sedikitnya perempuan yang terpilih menjadi anggota legislatif dan masih adanya demonstrasi yang menjurus ke arah kekerasan.

"Perbaikan situasi memang diakui ada dari waktu ke waktu, namun belum cukup bermakna," kata Kepala BPS Suryamin.

Lembaga pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa, United Nations Development Programme (UNDP), terus berupaya meningkatkan kinerja demokrasi Indonesia dengan memfasilitasi pembuatan IDI bersama BPS.

Kepala Unit Pemerintahan Demokratis dan Pengurangan Kemiskinan (DGPRU) UNDP Indonesia, Nurina Widagdo, mengatakan pihaknya telah memfasilitasi pembuatan IDI selama tujuh tahun agar proses dan metodenya mumpuni serta dapat diperbandingkan dengan standar internasional.

Dia juga menyatakan bahwa Indonesia termasuk sebagai negara yang terbuka karena pemerintah sudah memakai data indeks untuk perencanaan dan penganggaran.

"UNDP melihat Indonesia sudah terbuka karena tidak membuat perencanaan dan penganggaran berdasarkan asumsi yang tidak ada evidence, tapi pakai angka," ucapnya.

Menurut UNDP, IDI merupakan prestasi yang baik bagi Indonesia karena hal tersebut dapat menjadi ukuran kinerja demokratis secara sistematis. Namun, Nurina menggarisbawahi aspek-aspek yang masih perlu dikerjakan untuk terus meningkatkan poin IDI.

"Bagaimana bidang yang memiliki poin rendah harus ditangani lebih baik, misalnya, DPRD yang tidak membuat perda inisiatif dan tidak memberikan rekomendasi bagi pemerintah. Ini adalah bidang yang harus ditangani," tuturnya.

UNDP sebagai lembaga PBB telah membantu Indonesia dalam mewujudkan peran DPRD menjadi lebih baik, misalnya, tentang bagaimana ada lebih banyak anggota legislatif daerah perempuan.

"Di pemilu legislatif kemarin, kami mencoba di beberapa daerah dengan memberikan pengajaran kepada caleg perempuan tentang bagaimana melakukan kampanye, menghitung konstituen, dan hal-hal teknis seperti itu. Kalau terpilih, bagaimana jadi anggota DPRD yang baik dan mampu menjalankan perannya," ucap Nurina.

Selain itu, dia juga mengatakan bahwa kinerja demokrasi Indonesia merupakan salah satu yang terbaik untuk ukuran negara berkembang secara rata-rata di global karena Indonesia mau untuk mengukur dan berbuat sesuatu.

"Kemauan membuat program perencanaan dan penganggaran yang kredibel sudah ada," ujar Nurina.

Menurut dia, tidak semua negara melakukan penilaian terhadap kinerja demokrasinya. Penilaian biasa dilakukan oleh inisiasi pihak lain secara global, seperti "Freedom House Democracy Index" dan "The Economist Intelligence Unit Democracy Index".

"IDI uniknya dimiliki oleh Indonesia, jadi lebih kredibel dan ada ownership yang luar biasa," tukas Nurina.

Dibandingkan dengan indeks lain, nilai IDI yang masuk kategori sedang ternyata memiliki penilaian yang hampir sama.

Berdasarkan indeks demokrasi dari LSM asal Amerika Serikat Freedom House, Indonesia termasuk dalam kategori negara yang "tidak sepenuhnya bebas" dengan skor 3, yang diperoleh dari penghitungan rata-rata dari aspek Kebebasan Sipil 4 poin, dan Hak-hak Politik 2 poin.

Nilai indeks demokrasi oleh Freedom House memiliki rentang 1-7. Semakin kecil, atau semakin mendekati 1, maka negara tersebut memiliki kebebasan yang baik. Semakin besar poinnya, atau semakin mendekati 7, maka negara tersebut memiliki kebebasan demokrasi yang buruk.

Sedangkan apabila merujuk pada indeks demokrasi dari media mingguan asal Inggris The Economist, Indonesia masuk dalam kategori negara yang "tidak sepenuhnya demokrasi" dengan skor 6,95 pada 2014.

Penghitungan indeks tersebut dilakukan secara luas melalui opini publik dengan memberikan kuesioner berisi pertanyaan yang umumnya berisi tentang pemilu, kebebasan memilih, kapabilitas pegawai negeri, pluralisme, pengaruh asing, dan lain-lain.

Skor-skor tertinggi dari indeks demokrasi The Economist diperoleh oleh negara-negara Skandinavia, seperti Norwegia dengan skor 9,93 dan Swedia dengan skor 9,73.

Menurut The Economist pula, indeks demokrasi Indonesia masih kalah dengan Timor Leste yang mendapatkan skor 7,24.