Kupang (ANTARA News) - Kepala Dinas Peternakan Provinsi Nusa Tenggara Timur Dany Suhadi menegaskan pemerintah daerah tidak membatasi pengiriman sapi ke Pulau Jawa per pekan, hanya saja dilakukan pembatasan kuota pengiriman sebanyak 65 ribu ekor per tahun.

"Jadi Silakan saja mau kirim berapa banyak, tapi harus sesuai kuota yang ditetapkan pemerintah," kata Dany Suhadi kepada Antara di Kupang, Sabtu, terkait Peternak sapi di Kupang, Nusa Tenggara Timur mengeluhkan kebijakan pemerintah yang membatasi pengiriman sapi dari 1.500 ekor menjadi 800 ekor per minggu ke Pulau Jawa.

Dany menyampaikan pembatasan kuota per tahun dilakukan agar peternak sapi disesuaikan dengan populasi sapi di NTT, sehingga produksi sapi bisa berkelanjutan dari tahun ke tahun.

Dia menyebutkan, populasi sapi sesuai data Dinas Peternakan NTT tahun 2014, sebanyak 860.731 ekor. Pemerintah NTT juga melarang peternak untuk mengirim sapi betina produktif ke Pulau Jawa. Hal itu dilakukan, karena terkadang peternak mengirim sapi betina yang masih produktif.

"Kadang peternak menjual sapi betina yang masih produktif, tapi mereka alasan sudah afker, sehingga harus dilarang menjual sapi betina produktif," katanya.

"Dampaknya adalah setiap pemotongan 100 betina produktif berpotensi menghilangkan kesempatan tambahan populasi dan kelahiran sebanyak 60 ekor sapi," katanya.

Menurutnya, penyelamatan sapi betina produktif merupakan langkah nyata dan tidak dapat ditunda-tunda, jika NTT bertekad menjadi Provinsi Ternak maupun untuk menyukseskan agenda nasional pencapaian swasembada pangan protein hewan tahun 2017.

Dia mengutarakan, untuk mendukung upaya tersebut, Kementerian Pertanian melalui Dirjen Peternakan dan Kesehatan Hewan mengalokasikan dana dekonsentrasi maupun tugas pembantuan Tahun Anggaran sebesar Rp58 miliar untuk pengembangan peternakan di NTT.

"Selain masih tingginya angka pemotongan sapi betina produktif, kendala lain dalam pengembangan peternakan di NTT adalah belum tuntasnya penanggulangan penyakit hewan menular strategis yakni brucellosis, SE, anthraks, hog cholera dan rabies," katanya.

Penyakit-penyakit hewan tersebut, tuturnya, memiliki dampak kerugian ekonomi yang besar, berpeluang menimbulkan wabah, menghambat lalu lintas perdagangan ternak serta bersifat zoonosis (penyakit yang dapat menular dari hewan ke manusia atau sebaliknya).

Setiap tahun, tambahnya, penyakit destruktif hewan ini menyebabkan kerugian di tingkat petani peternak mencapai nilai 5,5 persen dari produktivitas ternak yang ekuivalen dengan Rp100 miliar.

"Ini sebenarnya essensi dasar dari kebijakan pembatasan pengantarpulauan sapi dari NTT dengan total terebut, tanpa bermaksud mengekang keinginan peternak menjual sapi potong milik ke pembeli di tengah mahalnya harga daging sapi di luar NTT," katanya.

Sebelumnya Eyen Umar Syaharia, peternak sapi di PT Bumi Tirta Kupang mengatakan kebijakan pemerintah pusat membatasi impor sapi dari luar negeri untuk meningkatkan produktifits sapi lokal, ternyata tidak menguntungkan peternak dan mengakibatkan lonjakan harga daging sapi di dalam negeri.

Dia mengatakan walaupun kebijakan itu hanya diberlakukan untuk impor daging sapi dari luar negeri, namun para peternak mengaku kebijakan tersebut malah mengakibatkan lonjakan harga dan tidak akan meningkatkan nilai jual sapi lokal.

"Kebijakan itu tidak menguntungkan peternak, malahan mengakibatkan lonjakan harga sapi dalam negeri," kata Eyen.