Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pengawas Persaingan Usaha tidak mempersoalkan rencana pemerintah mengimpor 50 ribu ekor sapi yang akan dilakukan oleh Bulog, namun akan diawasi mengingat hal tersebut sangat berpotensi memunculkan persekongkolan atau kartel dengan dunia usaha.

"Upaya untuk menurunkan harga daging sapi melalui impor sapi siap potong tentu sah-sah saja apalagi itu merupakan regulasi pemerintah, tapi itu tentunya juga harus ada payung undang-undangnya," kata Komisioner Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) Tresna P. Soemardi saat berkunjung ke Antara di Jakarta, Kamis.

Dia mengatakan, upaya yang dilakukan pemerintah dengan menugaskan Bulog impor sapi sebenarnya boleh dan sah saja, apalagi di saat harga daging dalam kondisi yang sangat tidak wajar, hingga lebih dari Rp100.000 per kg.

Namun demikian, katanya, mengingat Bulog milik negera dan uang yang digunakan menggunakan uang masyarakat maka KPPU berkewajiban untuk ikut mengawasi impor ternak dari Australia tersebut.

"Jangan sampai buntut dari impor tersebut malah menimbulkan persekongkolan atau kartel dengan dunia usaha swasta. Dan potensi seperti ini sangat mungkin terjadi," ucapnya.

KPPU, tambahnya, sejak dahulu telah mengindikasikan ada permainan kartel soal daging sapi ini sehingga harganya nyaris tak pernah turun sejak 2013 hingga saat ini.

Permasalahan data ketersediaan daging menjadi hal utama. Terdapat perbedaan yang sangat signifikan antara kebutuhan daging dan ketersediaan daging.

Harga daging sapi yang cenderung naik, kata Tresna, antara lain juga disebabkan data yang digunakan sebagai asumsi cetak biru swasembada daging sapi sangat buruk karena data tidak mencerminkan kondisi sebenarnya.

Data yang fantastis tentang rencana swasembada yang diikuti oleh penurunan impor, tambahnya, ternyata secara faktual tidak diikuti oleh ketersediaan sapi lokal sebagaimana yang tersaji dalam angka-angka yang disodorkan Pemerintah khususnya Departemen Pertanian.

"Efek ketidakakuratan ini terlihat dari keterombang-ambingan Pemerintah dalam mengambil kebijakan. Awalnya begitu bersemangat menyetop, tapi kemudian berujung penetapan sejumlah impor signifikan karena harga naik sangat tinggi," tukasnya.