Jakarta (ANTARA News) - Presiden diharapkan tidak perlu mengajukan usulan agar pasal penghinaan dalam KUHP dihidupkan kembali setelah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi (MK).




Sebab, delik penghinaan terhadap kepala negara merupakan delik formal dan biasa. Artinya sepanjang unsur-unsur deliknya terpenuhi maka lengkaplah tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang.




"Presiden tidak perlu membuat pengaduan untuk memproses tindak pidana ini ke hadapan hukum. Kepolisian dari sisi hukum dipandang cukup memiliki legal standing untuk langsung memproses tindak pidana ini tanpa menunggu persetujuan dari Presiden," kata anggota Komisi III DPR RI, Aboe Bakar Alhabsy di Jakarta, Minggu.




Sebelum diberitakan bahwa dengan adanya putusan Mahkamah Konstitusi bernomor 013-022/PUU-IV/2006 delik penghinaan terhadap kepala negara yaitu pasal 134, 136, dan 137 KUHP telah dinyatakan bertentangan dengan UUD Negara RI Tahun 1945.




"Bila ada upaya untuk menghidupkan pasal-pasal yang demikian dapat dikatakan ini upaya melawan konstitusi, karena MK telah menyatakan kaidah pasal tersebut bertentangan dengan konstitusi," katanya.




Menurut Aboe Bakar, usulan untuk menghidupkan pasal penghinaan adalah bentuk melecehkan MK.




“Karena sama artanya tidak menghargai putusan lembaga tersebut yang seharusnya memiliki kekuatan final and binding (final dan mengikat),” kata anggota DPR RI dari PKS itu.