Jakarta (ANTARA News) - Koordinator Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras) Haris Azhar menilai agar pasal Penghinaan Presiden jangan dihidupkan lagi.

Pasal tersebut menjadi salah satu yang diajukan pemerintah dalam draf revisi KUHP dan telah diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) awal Juni lalu. Sebelumnya, pasal Penghinaan Presiden telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006.

"Tidak penting ada pasal Penghinaan Presiden untuk dicantumkan di rancangan KUHP. Sudah sepatutnya ditarik karena sudah tidak zamannya lagi," kata Haris di Jakarta, Selasa.

Menurut Haris, mengkritik Presiden merupakan bagian dari demokrasi oleh sebab itu sarana-sarananya harus diciptakan.

"Kritikan yang muncul di media terhadap seorang Presiden atau Wakil Presiden punya implikasi masuk ke ranah lain, bukan media saja," ujar Haris.

Ia juga mempertanyakan mengapa pemerintah terutama Presiden mencantumkan pasal tersebut dalam draf revisi KUHP.

"Saya tidak mengerti kenapa pemerintah masih mau mencantumkan pasal tersebut, atau jangan-jangan Presiden tidak baca lagi ketika menandatangani surat pengantar ke DPR untuk dibahas, apa kebablasan lagi, atau memang dia setuju," tuturnya.

"Karena implikasinya cukup besar terhadap demokrasi di Indonesia," tambah Haris.

Haris berpendapat bahwa definisi penghinaan tidak jelas sehingga nantinya bisa menimbulkan masalah dalam penafsiran.

"Belajar pengalaman yg ada, definisi penghinaan itu enggak jelas. Jangan sampai nanti pasal penghinaan kepada Presiden nanti muncul lagi, lalu diberlakukan oleh para penegak hukum, yang tafsirnya bisa macam-macam dari Aceh sampai Papua," jelasnya.

Wakil Koordinator Badan Pekerja ICW Emerson Yuntho menilai, "itu potensi melanggengkan praktik-praktik rezim orde baru." Sebelumnya, Ketua Badan Pengurus Setara Institute Hendardi berpendapat bahwa keinginan Presiden Joko Widodo untuk kembali menghidupkan pasal penghinaan terhadap Presiden dan Wakil Presiden dalam revisi KUHP merupakan bentuk ketidakpatuhan Presiden Jokowi terhadap Konstitusi RI. Pasal tersebut, lanjutnya, sudah dinyatakan inkonstitusional oleh MK pada Desember 2006 yang menyidangkan perkara nomor 013/PUU-IV/2006. "Norma yang sudah dibatalkan MK tidak boleh lagi dipungut menjadi norma dalam sebuah UU baru. Jika memaksakan maka dapat dianggap sebagai penyelundupan hukum sekaligus pelanggaran terhadap Konstitusi RI," tutur Hendardi.