Tripoli (ANTARA News) - Perdana Menteri Libya Abdullah Ath-Thanni, yang diakui masyarakat internasional, mengatakan pemerintahnya menolak setiap campur tangan asing di wilayah Libya, demikian laporan kantor berita resmi Libya, LANA, pada Senin (3/8).

"Libya menyambut baik kerja sama dengan semua negara, asalkan dengan saling menghormati dan tidak mencampuri urusan dalam negeri Libya," kata Ath-Thanni.

Ia menanggapi beberapa laporan bahwa negara Eropa berencana memulai kembali operasi militer di Libya segera setelah pemerintah persatuan terbentuk.

Laporan tersebut mengatakan karena Libya telah menjadi tempat penting imigran gelap yang ingin menyeberang ke dalam wilayah Eropa, negara Eropa berencana melancarkan operasi militer untuk memerangi imigran gelap di Laut Tengah.

Setelah Muammaf Gaddafi digulingkan pada 2011, proses politik di salah satu negara penghasil minyak terbesar itu, mengalami kekacauan.

Ibu Kota negeri tersebut, Tripoli, jatuh ke tangan milisi Fajar Libya pada Agustus. Milisi itu mendirikan pemerintah sendiri untuk menyaingi pemerintah yang diakui masyarakat internasional, yang saat ini hidup di pengasingan di kota kecil Tobruk di bagian timur negeri tersebut.

Ath-Thanni mengkonfirmasi bahwa pemerintah yang memproklamasikan diri sendiri di Tripoli itu "tidak sah dan tidak diakui secara internasional", demikian laporan Xinhua. "Mereka adalah kelompok pelanggar hukum," katanya.

PBB telah menengahi beberapa babak dialog antar-pihak yang bertikai di Libya sejak September. Namun bentrokan tetap berkecamuk kendati gencatan senjata disepakati oleh semua pihak yang menghadiri dialog tersebut.
(Uu.C003)