Jakarta (ANTARA News) - Banyak orang meragukan keberhasilan program biogas atau pemanfaatan kotoran ternak sebagai sumber energi di Sumba, karena mobilitas ternak yang sangat tinggi terkait urusan adat.

Kepemilikan ternak di Sumba, seperti juga wilayah lain di Provisi Nusa Tenggara Timur (NTT) cepat sekali berubah karena hewan peliharaan berkaki empat seperti babi, sapi dan kerbau biasa digunakan sebagai hadiah dalam upacara adat seperti kematian dan pernikahan.

"Seekor kerbau hari ini milik keluarga A, mungkin lusa sudah menjadi milik keluarga B, dan bulan depan bisa pindah tangan lagi," demikian seloroh yang sering terdengar di masyarakat.

Tetapi melalui pendampingan dan pembinaan yang tekun, Yayasan Sosial Donders berhasil mengajak warga untuk menjaga ternaknya agar berada di tempat yang tetap, khususnya karena kotoran ternak tersebut dimanfaatkan sebagai bahan bakar energi biogas.

"Kami menggunakan pendampingan melalui kelompok - kelompok masyarakat untuk membuat digester biogas dengan bahan bakar kotoran ternak," papar Pater Mikhael M. Keraf, C.SSR dari Yayasan Donders, kepada Antara pertengahan Juli lalu.

HIVOS sebuah lembaga nirlaba yang berpusat di Belanda sebagai penggagas program "Sumba Iconic Island" (SII) memberikan pelatihan bagi masyarakat untuk memanfaatkan sumber energi terbarukan, antara lain memakai pemompaan air dengan tenaga matahari sebagai sumber irigasi pertanian, ucap Imelda Sulis Setiawati Seda, juga dari yayasan Donders.

SII adalah target pemakaian 100 persen energi terbarukan untuk elektrifikasi di empat kabupaten di Pulau Sumba, Provinsi NTT yaitu kabupaten Sumba Timur, Sumba Tengah, Sumba Barat Daya dan Sumba Barat yang dijalankan oleh HIVOS sejak 2012 hingga 2020 dan diadopsi oleh Kementerian Eneredi Sumber Daya Mineral (ESDM) RI.

Iklim di Sumba dengan masa kemarau yang lebih panjang membuat lahan pertanian hanya bisa digarap selama lima bulan, sedangkan tujuh bulan lainnya masyarakat dulunya menganggur.

Program ini dilakukan dengan memompa air sungai untuk kepentingan irigasi dengan memakai tenaga sinar matahari yang mampu memberikan debit air 50 meter kubik/hari dan dengan memompa lima jam sehari saja sudah cukup untuk memenuhi kebutuhan pengairan, ujar Sulis, menjelaskan.

Lahan pertanian di desa Dikira, kecamatan Wewewa Timur yang terletak di atas sungai, tidak lagi mengalami kesulitan untuk diairi selain itu kegiatan pertanian dilakukan secara organik dengan memanfaatkan pupuk alami dari kompos tanaman maupun ampas biogas.

Di tempat tersebut terdapat 10 kampung yang membentuk kelompok tani untuk mendapat pendampingan dari Yayasan Sosial Donders yang mengundang peran serta masyarakat melalui konsep "membangun rumah bersama" dengan pendekatan budaya "Marapu" atau agama asli setempat.

"Masyarakat begotong-royong mengumpulkan bambu, kayu dan batu untuk bersama-sama membangun rumah adat yang digunakan bersama sebagai tempat pertemuan dan belajar," tutur Pater Mike, panggilan akrab Pater Mikhael M. Keraf.

Rumah yang disebut "Umma Peghe" atau "Umma Pande" yang berarti rumah pintar dan bergegas, memberi makna pada masyarakat untuk bergegas belajar dan memperbaiki hidup.

Pendampingan dilakukan untuk mengajarkan sistem peternakan, pertanian, tata pemerintahan desa, pendampingan untuk perempuan dan anak serta pembangunan perekonomian desa.

"Kini masyarakat sudah mampu melakukan pertanian organik," tutur Bambang Broto Kiswarno, seorang relawan bidang pertanian yang menjadi sahabat para petani setempat.

"Kami memang mendapat bimbingan dari Mas Bambang," ujar Matius Ngongo Malo dari Koperasi Serba Usaha Gollu Delo yang mengelola usaha pertanian, peternakan dan simpan pinjam bagi 150 anggotanya, menambahkan.

Produksi energi terbarukan dengan memanfaatkan kotoran ternak atau biogas antara lain dilakukan untuk keperluan dapur di Keuskupan Weetabula, dan Hotel Melati di wilayah yang sama.

"Kami menanamkan kesadaran kepada masyarakat untuk menjaga ternaknya secara tetap demi kepentingan pengumpulan kotoran hewan sebagai bahan bakar. Bila ternak berkembang biak baru boleh dipindahkan, tetapi tetap menjaga jumlah hewan sesuai kebutuhan tungku," ucap Pater Mike yang mengaku optimistis program ini dapat berkembang karena melibatkan partisipasi masyarakat.

Progam energi biogas dibuat dengan membangun ruangan penyimpan kotoran ternak yang disebut digester berukuran terkecil empat meter persegi hingga 12 meter persegi, yang akan mengubah kotoran tersebut menjadi gas methan dan menjadi sumber energi.

Saat ini sudah terdapat sekitar 125 digester tersebar di tiga kabupaten yaitu Sumba Tengah, Sumba Barat dan Sumba Barat Daya.

Untuk satu digester berukuran 12 meter persegi rata-rata memerlukan 30 kg kotoran ternak per hari.

Yayasan tersebut juga mengembangkan sumber energi yang lain seperti tenaga surya dan air.

Yayasan Sosial Donders berdiri pada 7 Januari 2010 merupakan wadah karya para rohaniwan Katolik untuk membantu masyarakat Sumba dan sejauh ini lebih banyak memberikan pelayanan di wilayah Kabupaten Sumba Barat Daya.