Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Gubernur Sumatera Utara Gatot Pujo Nugroho dan istrinya Evi Susanti sebagai tersangka kasus dugaan tindak pidana korupsi pemberian suap majelis hakim dan panitera Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan.

"Hasil ekspose (pada rapat pimpinan dan tim lengkap) progress kasus OTT (Operasi Tangkap Tangan) Hakim TUN (Tata Usaha Negara), maka KPK per hari ini akan menerbitkan Sprindik (surat perintah penyidikan) dengan menetapkan Gubernur Sumut GPN dan ES (istri), keduanya sebagai tersangka," kata Pelaksana Tugas (Plt) Wakil Ketua KPK Indriyanto Seno Adji melalui pesan singkat yang diterima di Jakarta, Selasa.

Kemarin keduanya juga sudah diperiksa selama 13 jam sebagai saksi.

"Semua ini berdasarkan pengembangan dan pendalaman dari pemeriksaan saksi-saksi yang ada juga perolehan alat bukti lainnya," tambah Indriyanto.

Dalam pernyataannya kemarin, istri muda Gatot, Evi hanya mengakui bahwa ia memberikan uang jasa kepada pengacara OC Kaligis dari uang pribadinya.

"Yang diberikan ke OC Kaligis hanya seputar fee lawyer. Anggarannya kami pribadi dan tidak besar, yaitu sekitar Rp50 juta," kata Evi pada Selasa dini hari.

OC Kaligis diketahui juga merupakan pengacara keluarga Gatot sejak dua tahun terakhir.

"Jadi begini, Pak Kaligis itu lawyer Pak Gatot sebagai lawyer selaku kepala pemerintahan. Nah kami mengusulkan kepada Pak Fuad untuk memakai jasa OC Kaligis," jelas Evi.

Gatot juga yang mengusulkan agar Kepala Biro Keuangan Daerah Provinsi Sumatera Utara Ahmad Fuad Lubis menggunakan jasa pengacara OC Kaligis.

"Staf saya kabiro keuangan dipanggil pihak Kejati dan Kejagung. Beliau melaporkan panggilan itu kepada saya," kata Gatot.

Namun setelah menyarankan untuk memakai jasa kantor pengacara OC, Gatot mengaku tidak tahu kelanjutkan proses hukum tersebut.

"Setelah itu saya tidak tahu. Ternyata yang terjadi adalah rencana berlanjut ke PTUN," tambah Gatot.

Namun meski tidak berniat agar kasus dilanjutkan ke PTUN, Evi mengaku kerap berkomunikasi dengan Gerry.

"Hubungan saya ke Gerry hanya untuk meremind soal jadwal sidang, apakah sidang berjalan atau tidak, ditunda atau tidak. Nah rekaman sadapan itu diperdengarkan di pemeriksaan," kata Evi.

Perkara ini dimulai ketika Kepala Biro Keuangan Pemerintah Provinsi Sumut Ahmad Fuad Lubis dipanggil oleh Kejaksaan Tinggi dan juga Kejaksaan Agung terkait perkara korupsi dana bantuan sosial provinsi Sumatera Utara tahun 2012-2014.

Atas pemanggilan berdasarkan surat perintah penyelidikan (sprinlidik) yang dikeluarkan oleh dua lembaga penegak hukum tersebut, Fuad pun menyewa jasa kantor pengacara OC Kaligis untuk mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Medan.

Berdasarkan UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan, PTUN yang berhak menilai apakah aparat sipil negara melakukan penyalahgunaan wewenang.

Dalam putusannya pada 7 Juli 2015, majelis hakim yang terdiri dari ketua PTUN Medan Tripeni Irianto Putro dan anggota Amir Fauzi serta Dermawan Ginting memutuskan untuk mengabulkan gugatan Fuad.

Namun pada 9 Juli 2015, KPK melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) di PTUN Medan terhadap Tripeni dan anak buah OC Kaligis bernama Moch Yagari Bhastara Guntur alias Gerry dan mendapati uang 5 ribu dolar AS di kantor Tripeni. Belakangan KPK juga menangkap dua hakim anggota bersama panitera/sekretaris PTUN Medan Syamsir Yusfan.

Selanjutnya diketahui juga bahwa uang tersebut bukan pemberian pertama, karena Gerry sudah memberikan uang 10 ribu dolar AS dan 5 ribu dolar Singapura.

Uang tersebut menurut pernyataan pengacara yang juga paman Gerry, Haeruddin Massaro berasal dari Kaligis yang diberikan ke Dermawan Ginting pada 5 Juli 2015.

KPK pun langsung menetapkan tiga hakim dan panitera PTUN Medan sebagai penerima suap serta Gerry sebagai pemberi suap. Selanjutnya KPK juga menetapkan OC Kaligis sebagai pemberi suap dan menjemput paksa serta menahan mantan Ketua Mahkamah Partai Nasdem pada 14 Juli 2015.