Jakarta (ANTARA News) - Yusril Ihza Mahendra, kuasa hukum Dahlan Iskan (tersangka dalam kasus dugaan korupsi gardu listrik PLN) menilai pihak Kejaksaan Tinggi mengabaikan hak asasi kliennya.

"Seharusnya dilakukan penyidikan terlebih dahulu, baru dilakukan penyelidikan dan penetapan tersangka. Tapi mereka terbalik, menetapkan status tersangka dulu baru dilakukan penyidikan," tutur Yusril saat ditemui di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa.

Ia menjelaskan pada kasus yang menjerat mantan Dirut PLN dan sekaligus mantan Menteri BUMN tersebut, kliennya ditetapkan sebagai tersangka terlebih dahulu sebelum dilakukan proses penyidikan, atau pemeriksaan saksi dan bukti lainnya.

Penetapan tersangka yang didasarkan pada Surat Perintah Penyidikan Nomor: Prin-752/O.1/Fd.1/06/2015 yang dikeluarkan pada 5 Juni 2015 tersebut dianggap melanggar due process of law dan mengabaikan hak asasi, ujar Yusril.

Selain itu, pihaknya juga menilai seharusnya Kejaksaan Tinggi pada proses penyidikan memperhatikan dan berdasarkan surat perintah penyidikan untuk setiap tersangka, bukan menyamakan proses tersebut antara kliennya dengan tersangka dan/atau terdakwa lain.

Oleh sebab itu, dalil Kejaksaan Tinggi yang menyatakan permohonan praperadilan a quo demi hukum harus dinyatakan gugur berdasarkan pasal 82 ayat (2) huruf d KUHAP adalah tidak berdasarkan hukum, jelasnya.

Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta menetapkan mantan Dirut PLN Dahlan Iskan tersebut sebagai tersangka dugaan korupsi pembangunan gardu induk PLN Jawa, Bali, Nusa Tenggara senilai Rp1,063 triliun.

Kejaksaan juga telah memeriksa mantan Dirut PLN Nur Pamuji yang menggantikan Dahlan Iskan saat ditarik menjadi Menteri BUMN pada masa kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono pada akhir 2011.

Sejauh ini jaksa telah menetapkan status tersangka terhadap 15 orang yang terlibat perkara tersebut, termasuk sembilan karyawan PT PLN yang sudah menjalani penahanan.

Seluruh tersangka dijerat dengan Pasal 2, 3 juncto Pasal 18 ayat (1) huruf b Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20/2001 tentang Pemberantasan Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dengan ancaman kurungan maksimal 20 tahun.

Megaproyek milik Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) tersebut digarap sejak bulan Desember 2011 dan ditargetkan selesai pada bulan Juni 2013.