Profesor Charles Jeurgens dari Universitas Leiden, Belanda, dalam satu pernyataan, membahas temuan itu di Universtas Australia Barat (UWA), Perth, Rabu, dengan menjelaskan, pemerintahan kolonialis Belanda khawatir mereka yang pergi haji akan membawa semangat perlawanan terhadap kolonialisme.
"Belanda mencoba mengendalikannya," ujar pria yang fokus penelitiannya melihat pola transfer informasi era kolonial Belanda.
Pada 1825 (bertepatan dengan awal Perang Diponegoro), Kerajaan Belanda menerapkan biaya sebanyak 125 gulden untuk surat izin bepergian ke Tanah Suci. Tapi kebijakan ini direvisi karena Pengadilan Tinggi di Batavia pada 1852 menilai biaya izin bepergian itu ilegal.
Kerajaan Belanda kemudian mengganti kebijakannya pada 1859 dengan penerapan kewajiban surat pernyataan kemampuan finansial dan berbagai tes sepulangnya jamaah berhaji.
"Belanda membuka konsulat di Jeddah pada 1872, khusus untuk mengamati peluang kemunculan pandangan Pan-Islamic subversion. Konsulat itu juga dibuat dengan tujuan untuk melindungi orang-orang Jawa dari pemerasan serta pengawasan penggunaan ijin bepergian," kata Jeurgens.
Banyak pula orang Jawa yang bertahun-tahun memilih tidak langsung pulang ke Indonesia setelah beribadah haji.
Untuk mendapatkan informasi, Belanda memanfaatkan apa yang disebut dengan dragomans alias informan yang merupakan orang Indonesia atau orang Jawa.
Salah satu dragomans adalah Aboe Bakar Djajadiningrat (1854-1914), yang menjadi informan buat Belanda sejak 1885. Ia bertugas melaporkan ibadah haji orang Indonesia kepada Konsulat Belanda di Jeddah.