Jakarta (ANTARA News) - Kekhawatiran gejolak perekonomian di Yunani juga bakal terjadi di Indonesia diungkapkan sejumlah kalangan sehubungan kinerja perekonomian nasional saat ini tidak terlalu menggembirakan.

Pertumbuhan ekonomi mengalami pelambatan, ekspor komoditas menurun, produksi barang manufaktur masih kedodoran, rupiah anjlok terhadap dolar AS, defisit transaksi berjalan masih cukup besar dan utang luar negeri terus bertambah.

Namun, banyak yang memastikan Indonesia tidak akan mengalami hal seperti itu karena indikator perekonomian Indonesia saat ini lebih baik dari "Negeri Para Dewa" itu.

Menghadapi tantangan itu, Presiden Joko Widodo atau Jokowi menyatakan bahwa pemerintah siap menghadapi tantangan fundamental ekonomi dengan memulai siklus baru ekonomi yang berbeda dengan sebelumnya.

Kepala Negara mengatakan pemerintah tidak bisa menunda lagi reformasi ekonomi secara fundamental meski terasa pahit dan sakit.

"Tidak ada kemajuan tanpa obat pahit. Banyak negara gagal upgrade (memperbaiki) mesin ekonomi bahkan janjikan kesejahteraan tanpa kerja keras, dan mereka sekarang di ambang kehancuran. Ini harus dihindari Indonesia," katanya.

Presiden menyebutkan dalam jangka pendek pemerintah antara lain akan menjaga stabilitas perekonomian termasuk harga kebutuhan pokok, serta mengoptimalkan belanja pemerintah sambil menunggu bangkitnya mesin baru pertumbuhan.

"Ruang fiskal yang ada akan kita manfaatkan," katanya.

Pemerintah juga akan menggalang dana investasi dari Jepang, Korea, Tiongkok, Singapura, Jerman dan AS. "Pendanaan ini untuk investasi yang meningkatkan produktivitas, bukan konsumtif dan subsidi," katanya.

Pertumbuhan Ekonomi
Menteri Keuangan (Menkeu) Bambang P.S. Brodjonegoro memperkirakan pertumbuhan ekonomi semester I-2015 sebesar 4,9 persen, lebih rendah dibandingkan realisasi semester yang sama tahun sebelumnya sebesar 5,1 persen.

Bambang memprediksi pertumbuhan ekonomi pada semester II bisa 5,5 persen, sehingga rata-rata pertumbuhan ekonomi tahun ini hanya 5,2 persen. Sementara itu, target pertumbuhan ekonomi dalam APBNP 2015 sebesar 5,7 persen.

Sementara Bank Indonesia (BI) memperkirakan pertumbuhan ekonomi 2015 pada kisaran 5-5,4 persen. Pertumbuhan itu didukung oleh peningkatan konsumsi masyarakat seiring peningkatan investasi. Ditambah realisasi belanja modal pemerintah.

Kuartal II akan membaik meski terbatas. Perbaikan kuartal III dan IV didukung meningkatnya konsumsi dan investasi. Sejalan realisasi pengeluaran fiskal dan penyaluran kredit perbankan," ujar Deputi Gubernur BI Perry Warjiyo.

Berkaitan dengan itu, Presiden Jokowi mengharapkan agar pertumbuhan ekonomi Indonesia menekankan pada produktivitas dan didukung oleh industri dalam negeri yang kuat. Caranya antara lain dengan memaksa pemakaian produk dengan kandungan lokal.

Pengamat ekonomi dari Institute for Development of Economic and Finance (INDEF) Enny Sri Hartati memperkirakan rata-rata pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2015 akan mencapai 5,2-5,3 persen, sedikit lebih rendah dibandingkan target pertumbuhan ekonomi pemerintah 5,4 persen.

Enny lebih sepakat dengan BI yang memproyeksikan pertumbuhan ekonomi pada 2015 akan mencapai 5,1 persen. BI merevisi proyeksi pertumbuhan ekonomi dari sebelumnya 5,4 persen.

Belanja Pemerintah
Menkeu Bambang menyatakan ia optimistis penyerapan belanja pemerintah pusat, terutama yang fokus untuk mendukung pembangunan infrastruktur, akan meningkat pada semester II-2015.

Salah satu penyebab penyerapan masih melambat pada semester I, katanya, adalah Daftar Isian Pelaksanaan Anggaran (DIPA) yang baru disiapkan setelah selesainya penyusunan dan pengesahan APBN-P pada Februari 2015.

Selain itu, setelah adanya APBN-P banyak kementerian lembaga yang terkait dengan proyek pembangunan pemerintah mengalami perubahan nomenklatur dan programnya belum terakomodasi dalam APBN lama.

Kementerian Keuangan mencatat proyeksi realisasi belanja pemerintah pusat hingga semester I-2015 baru mencapai Rp436,1 triliun atau 33,1 persen dari pagu dalam APBN-P sebesar Rp1.319,5 triliun.

Realisasi tersebut terdiri atas belanja kementerian lembaga (K/L) yang baru mencapai Rp208,5 triliun atau 26,2 persen dari pagu Rp795,5 triliun dan belanja non-K/L yang tercatat Rp227,6 triliun atau 43,4 persen dari pagu Rp524,1 triliun.

Pada semester II, diperkirakan belanja K/L akan meningkat, atau mencapai Rp521,6 triliun, sehingga pada akhir tahun outlook belanja K/L diproyeksikan Rp730,1 triliun atau 91,8 persen dari pagu.

Dengan perkiraan itu, belanja pemerintah pusat pada akhir tahun anggaran diproyeksikan mencapai Rp1.245,5 triliun atau 94,4 persen dari pagu.

Sementara defisit anggaran pada akhir 2015 diproyeksikan 2,23 persen, lebih lebar dibandingkan target APBN-P sebesar 1,9 persen terhadap produk domestik bruto (PDB).

Dengan adanya tambahan defisit 2,23 persen atau senilai Rp260 triliun, akan ada tambahan pembiayaan yang diupayakan dari pinjaman lembaga multilateral dan bilateral sebesar Rp38 triliun, bukan dari penerbitan SUN.

Skenario defisit itu, kata Menkeu, berasal dari perkiraan pendapatan negara yang hingga akhir tahun mencapai Rp1.649,8 triliun dan belanja negara yang diproyeksikan Rp1.909,8 triliun.

Menkeu juga memaparkan estimasi asumsi makro hingga akhir tahun antara lain pertumbuhan ekonomi 5,2 persen, laju inflasi 4,2 persen, tingkat suku bunga SPN 3 bulan 6,0 persen dan nilai tukar Rp13.100 per dolar AS.

Selain itu,harga minyak mentah Indonesia diperkirakan rata-rata 59 dolar AS per barel, lifting minyak 825 ribu barel per hari dan lifting gas 1.221 ribu barel per hari setara minyak.

Hanya Sementara
Bank Pembangunan Asia (ADB) meyakini pelambatan perekonomian Indonesia hanya sementara mengingat ekspansi belanja modal pemerintah dari pagu anggaran infrastruktur sebesar Rp290,3 triliun akan "mengembalikan" pertumbuhan hingga ke lima persen pada akhir 2015.

Deputy County Director ADB Edimon Ginting mengatakan terdapat potensi lonjakan stimulus perekonomian karena pemerintah masih memiliki 88 persen dari total belanja infrastruktur atau sekitar Rp255 triliun yang belum digunakan.

Mengutip pernyataan pemerintah bahwa realisasi belanja modal dapat mencapai 85 persen pada 2015, Edimon meyakini akan ada kenaikan 94 persen investasi pemerintah ke masyarakat, dibandingkan semester II 2014.

Karena itu, menurut dia, pemerintah perlu serius menuntaskan masalah administrasi yang selama ini menghambat pencairan anggaran.

Stimulus dari belanja modal pemerintah juga akan mendongkrak konsumsi domestik. Konsumsi swasta akan terbantu dengan mulai membaiknya kinerja ekspor yang sebenarnya sudah terasa di triwulan II 2015.

Edimon juga menilai konsumsi rumah tangga yang pada kuartal I hanya tumbuh lima persen, akan naik karena dipengaruhi kebijakan pemerintah seperti peningkatan batas Penghasilan Tidak Kena Pajak dan kenaikan gaji personel TNI dan Polri. "Momentum Pemilihan Kepala Daerah serentak juga akan meningkatkan konsumsi masyarakat," ujarnya.

ADB memperkirakan laju inflasi pada 2015 sebesar 6.4 persen (yoy) karena dipengaruhi volatilitas harga bahan makanan pokok sebagai dampak dari pelepasan subsidi BBM.

Untuk pertumbuhan ekonomi, ADB merevisi proyeksinya dari sebelumnya 5,5 persen menjadi 5,0 persen atau berada dalam rentang 4,8-5,2 persen.