Penurunan rasio kredit belum signifikan dorong pertumbuhan
Ilustrasi. Presiden Joko Widodo (kanan) bersama Menko Perekonomian Sofyan Djalil (kedua kiri), Gubernur BI Agus Martowardojo (ketiga kiri), Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D. Hadad (kedua kanan), Menkeu Bambang Brodjonegoro (ketiga kanan), Mendag Rahmat Gobel (keempat kanan) dan Menteri BUMN Rini Soemarno (kiri) bergegas usai rapat kabinet terbatas bidang ekonomi di ruang Jepara, Istana Merdeka, Jakarta, Selasa (23/12). Rapat tersebut membahas soal target pertumbuhan ekonomi di atas tujuh persen pada tiga tahun pertama pemerintahan Jokowi dan Jusuf Kalla serta nilai tukar rupiah terhadap mata uang negara asing. (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)
"Saya sih melihat positif, lumayan. Tapi tidak akan langsung tiba-tiba membuat pertumbuhan kredit naik tajam gitu ya. Karena bagaimana pun juga demand (permintaan) untuk kredit kan bergantung pada si yang mau pinjam juga," katanya dalam acara Buka Puasa Bersama Standard Chartered Bank dan Diskusi Panel "Tantangan dan Peluang dalam Mengembangkan Sektor Perusahaan Menengah di Indonesia", Hotel Mulia, Jakarta, Senin.
Ia mengatakan perlu juga melihat faktor daya beli masyarakat saat ini. Jika daya beli masyarakat turun, maka mereka akan memprioritaskan konsumsi untuk kebutuhan primer.
Ia mengatakan daya beli masyarakat juga terkendala dengan suku bunga pinjaman yang masih tinggi yakni 7,5 persen.
"Walaupun ada DP-nya (down payment/DP) atau uang muka diturunkan, tapi kalau suku bunga kreditnya masih tinggi, belum tentu orang mau pinjam kan, kan harus dilihat itu juga," ujarnya.
Ia mengatakan pelonggaran rasio kredit akan berdampak baik ke depannya, namun tidak secara otomatis mendorong pertumbuhan kredit yang signifikan melainkan secara perlahan seiring dengan membaiknya pertumbuhan ekonomi.
"Tapi saya sih melihatnya cukup positif, cuma jangan ekspektasi tiba-tiba langsung berubah (pertumbuhan) kreditnya naik tajam," tuturnya.
Meskipun tidak menunjukkan pertumbuhan kredit secara tajam dalam waktu singkat, ia mengatakan penurunan rasio kredit tersebut merupakan kebijakan yang positif untuk mendorong konsumsi masyarakat.
"Kalau percuma atau mubazir sih tidak, tidaklah. Tetap saja nanti kalau ekonominya mulai membaik, dengan aturan yang begini, itu pertumbuhan kredit itu bisa akan meningkat," katanya.
Ia mengatakan jika ke depan pendapatan masyarakat lebih baik maka daya beli mereka akan semakin meningkat yang didukung dengan penurunan rasio kredit.
"Coba sekarang, misalkan income (pendapatan) masyarakat tahun depan sudah mulai lebih baik, purchasing power-nya (daya beli) mulai baik, dengan DP yang 30 persen sama yang 20 persen, tentu akan lebih yang 20 persen yang terlihat atau menggeliat kan," ujarnya.
Ia memprediksi pertumbuhan kredit pada tahun ini mencapai 12-13 persen. "Kami sih taruh di sekitar 12-13 persen lah ya. Masih ada harapan lah," katanya.
Pewarta: Martha Herlinawati Simanjuntak
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015