Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah mahasiswa di Jakarta mengatakan Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau dana aspirasi senilai Rp11,2 triliun per tahun bagi anggota DPR RI bukanlah kebutuhan mendesak yang harus dikeluarkan pemerintah.

"Bagaimanapun mekanismenya, dana aspirasi harus ditolak karena kebutuhan dana aspirasi oleh anggota dewan tidak mendesak," kata Wasil, Ketua BEM Magister Perbandingan Agama UIN, dalam sebuah diskusi di Jakarta, Rabu.

Wasil mengatakan dana aspirasi rawan penyalahgunaan karena belum ada mekanisme yang menjelaskan pengawasan dana itu. Selain itu aspirasi pembangunan daerah pemilihan bisa diperjuangkan melalui Musyawarah Perencanaan Pembangunan Daerah.

"Jika niatnya untuk menampung keinginan rakyat bukan lewat dana aspirasi, sudah ada pemerintah daerah yang bertugas di sana," katanya.

Selain itu, Ketua Badan Koordinasi HMI Jabodetabek Zulkarnain Bagariang mempertanyakan transparansi anggota dewan jika mendapatkan dana aspirasi.

"Apakah anggota dewan mampu mengelola dana untuk membangun di daerah pemilihannya itu? Apakah tepat sasaran? Persoalan uang rakyat ini sangat sensitif," kata Zulkarnain.

Ia pun memuji langkah sejumlah fraksi di DPR yang menolak usulan dana aspirasi tersebut.

"Akan ada celah penyelewengan yang berujung korupsi. Anggota dewan yang sadar akan tanggung jawab besar akan menolak karena bisa membuka peluang korupsi yang akan dipertanggungjawabkan di kemudian hari," imbuhnya.

Sebelumnya pada Selasa (23/6) sidang paripurna DPR RI menyetujui Usulan Program Pembangunan Daerah Pemilihan (UP2DP) atau dana aspirasi senilai Rp11,2 triliun per tahun bagi anggota dewan, meskipun tiga fraksi yakni Hanura, PDIP dan Nasdem menolak.

Dengan disetujuinya program tersebut masing-masing anggota dewan akan dibekali dana Rp20 miliar per tahun untuk kepentingan pembangunan di daerah pemilihannya.