Jakarta (ANTARA News) - Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) minta, agar revisi Undang Undang nomor 30 tahun 2002 tentang KPK tidak melemahkan lembaganya, kata pelaksana tugas Ketua KPK Taufiequrrachman Ruki.

"Kalau itu sudah jadi keputusan politik, maka yang harus dilakukan adalah menyiapkan draft revisi UU KPK yang isinya tidak melemahkan KPK," catatnya melalui pesan singkat di Gedung KPK Jakarta, Rabu.

Dalam rapat paripurna DPR, Selasa (23/6), revisi UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK resmi masuk dalam Proyeksi Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2015.

"Kemudian, dijadikan usulan resmi KPK/pemerintah dan kita usahakan agar konsep itu yang dibahas dan dimasukkan sebagai revisi. Setiap konsep yang mengandung tujuan pelemahan dan pengurangan kewenangan harus kita tolak," catat Ruki.

Alasan memasukkan RUU KPK ke Prolegnas 2015, menurut Ketua Badan Legislasi DPR RI Sareh Wiyono, adalah mengakomodasi permintaan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) Yasonna H. Laoly karena meniali ada beberapa alasan kegentingan.

"Kewenangan penyadapan dengan pelanggaran HAM, penuntutan yang perlu disinergikan dengan kewenangan Kejaksaan, perlunya dibentuk dewan pengawas mengenai pengaturan pelaksanaan tugas pimpinan jika berhalangan, dan penguatan pengaturan kolektif kolegial," kata Sareh.

Badan Legislatif juga meminta pemerintah untuk tidak menarik kembali usulan RUU tersebut karena penambahan atau pengganti RUU Prioritas harus dilaporkan dalam rapat paripurna DPR.

Sebelumnya, Yasonna Hamonangan Laoly menyatakan, sikap pemerintah sejak awal tidak mengajukan revisi UU KPK.

"Sikap Pemerintah sejak awal tidak mengajukan revisi UU nomor 30 tahun 2002 tentang KPK. Dalam Prolegnas revisi itu diajukan oleh DPR, bukan oleh pemerintah," katanya pada 22 Juni 2015.

Menurut Yasonna, revisi UU KPK tersebut terkait juga dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (Perppu) nomor 1 tahun 2015 tentang KPK.

"Kemudian, pada waktu pembahasan Perppu nomor 1 Tahun 2015 tentang KPK, DPR melalui Komisi III yang ditugaskan membahas Perppu KPK untuk membuat catatan persetujuan untuk segera mengajukan revisi UU KPK," ujarnya.

Ia menimpali, "Kalau tidak, DPR tidak menyetujui Perppu, apalagi pada waktu itu tengat waktu persetujuan DPR sudah dekat, kalau tidak Perppu tidak berlaku."

"Konsekuensinya, pengangkatan Komisioner KPK yang 3 orang itu batal kalau Perppu KPK tidak disetujui. Kita terima catatan tersebut. Itu sebabnya, dalam pengajuan Prolegnas, revisi UU KPK dimasukkan untuk 2015, yang sebelumnya direncanakan 2016," kata Yasonna.

Namun, Yasonna juga mengemukakan, revisi RUU KPK tetap menjadi hak inisiatif DPR karena menurut konstitusi, DPR berhak mengajukan RUU dan nantinya akan dibahas bersama pemerintah.

"Pemerintah tidak akan mengajukan draft revisi RUU KPK. Kalau pada akhirnya, DPR mengajukannya Revisi RUU KPK, yang merupakan hak konstitusional DPR, maka Presiden dapat menugaskan menteri terkait membahas, namun meminta untuk menunda pembahasannya," katanya.

Ia pun menegaskan, "Jadi, sikap pemerintah sebenarnya jelas, sejak awal tidak berinisiatif mengajukan revisi RUU KPK."

Yasonna menambahkan, revisi UU KPK dalam rapat 16 Juni 2015 setidak-tidaknya membahas lima hal, yaitu kewenangan penyadapan agar tidak menimbulkan pelanggaran HAM hanya ditujukan kepada pihak-pihak yang telah diproses pro-justisia.

Kemudian, ditambahkannya, peninjauan terkait kewenangan penuntutan yang perlu disinergikan dengan kewenangan Kejaksaan Agung, perlu dibentuknya Dewan Pengawas, pengaturan terkait pelaksanaan tugas pimpinan jika berhalangan, dan penguatan terhadap pengaturan kolektif kolegial.