Surabaya (ANTARA News) - Tim Strategic Legal Planner Dahlan Iskan membeberkan tiga fakta hukum yang menunjukkan mantan Menteri BUMN Dahlan Iskan tidak layak dijadikan tersangka tindak pidana korupsi, apalagi terdakwa/terpidana, dalam kasus mangkraknya pembangunan gardu induk PLN.
"Fakta pertama adalah hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan RI (BPK-RI) Tahun 2014 No. 06.B/LHP/XVII/05/2014 yang secara jelas menyatakan tidak ada unsur kerugian negara dalam proyek pembangunan gardu induk PLN," anggota tim SLP Dahlan Iskan, M. Erick Antariksa SH, di Surabaya, Sabtu.
Fakta kedua merujuk pernyataan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta di media massa bahwa Dahlan disangka melakukan tindak pidana korupsi karena telah menandatangani Surat Pernyataan PLN kepada Menteri Keuangan.
"Padahal, jaksa melaporkan isi surat bahwa pembebasan tanah untuk proyek pembangunan gardu induk ini telah tuntas, adalah tidak benar," kata dia, didampingi anggota tim lainnya, Riri Purbasari Antariksa SH LLM MBA.
Mengenai surat ini, Dahlan tidak bisa dipersalahkan, apalagi dipidana. Laporan mengenai tuntasnya proses pembebasan tanah itu dibuat oleh seorang General Manager (GM) di PLN saat itu.
Selain GM, adalah seorang pejabat yang berwenang membuat laporan mengenai hal itu. GM tersebut juga seorang PPK (Pejabat Pembuat Komitmen), yang dilantik dan diberi wewenang langsung oleh "pemilik" uang pembangunan gardu induk, yaitu Kementerian ESDM.
Surat pernyataan tersebut pun disusun para pejabat berwenang PLN dan sudah dibubuhi paraf yang menandakan isi surat tersebut sudah diketahui dan sudah dicek para pejabat PLN sesuai tanggung jawab serta kompetensinya masing-masing.
"Dengan telah dipenuhinya syarat-syarat tertib administrasi dalam penyusunan surat tersebut, maka menjadi sebuah kewajiban bagi Dahlan yang saat itu menjabat sebagai Dirut PLN untuk menandatangani surat tersebut," katanya.
Apalagi, berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan terbaru, Permenkeu Nomor 157/PMK.02/2013, tuntasnya pembebasan lahan oleh PLN, bukan lagi menjadi salah satu syarat untuk mendapatkan anggaran "multi year".
Fakta ketiga juga merujuk pernyataan Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta pada media massa bahwa Dahlan Iskan disangka melakukan tindak pidana korupsi karena menetapkan sistem pembayaran "On Site".
Padahal, bukan Dahlan yang menetapkan atau memutuskan sistem pembayaran apa yang akan diterapkan. Semua itu bukan kewenangan Dahlan selaku Dirut PLN. Dahlan hanya mengajukan usulan.
"Yang menjadi pertanyaan, apakah layak seorang yang mengajukan usul dijadikan tersangka? Padahal kewenangan untuk memutuskan sistem pembayaran tidak dimiliki Dahlan Iskan," katanya.
Berdasarkan Perpres Nomor 54 Tahun 2010, yang disempurnakan dengan Perpres Nomor 70 Tahun 2012, tentang pengadaan barang, Dirut PLN tidak berwenang membuat keputusan mengenai sistem pembayaran.
"Berdasarkan ketiga fakta tersebut di atas, kami sangat menyayangkan keluarnya penetapan Dahlan Iskan sebagai tersangka dalam kasus korupsi gardu induk," katanya.
Namun, pihaknya juga menyadari bahwa berbagai keterangan Dahlan Iskan dalam pemeriksaan oleh Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta pada tanggal 4 dan 5 Juni 2015, yang siap "pasang badan" pasti sedikit banyak telah "menyesatkan" tim jaksa, sehingga Dahlan pun ditetapkan sebagai tersangka.
"Sudah menjadi sifat dan karakter Dahlan sebagai pemimpin, untuk selalu berusaha pasang badan siap berkorban demi anak buahnya, namun hal itu tetap harus didasarkan fakta hukum dan jaksa harus berpedoman pada fakta hukum," katanya.
Dia meminta kejaksaan melihat tiga fakta itu bahwa tidak ada satu pun tindak pidana korupsi yang dilakukan Dahlan.
"Karenanya, kami memohon proses penyidikan kejaksaan terhadap Dahlan Iskan dihentikan demi hukum," pungkas dia.
Pembela Dahlan Iskan beberkan tiga fakta hukum
20 Juni 2015 15:09 WIB
Dahlan Iskan di Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta (ANTARA FOTO/Vitalis Yogi Trisna)
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015
Tags: