Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Agung memperberat vonis Anas Urbaningrum menjadi 14 tahun penjara ditambah denda Rp5 miliar subsidair satu tahun empat bulan kurungan dan ditambah membayar uang pengganti Rp57,59 miliar subsider empat tahun kurungan.

"Upaya hukum kasasi yang diajukan mantan Ketua Umum Partai Demokrat, Anas Urbaningrum, bukan hanya menemui kegagalan tetapi justru telah menjadi bumerang baginya," kata anggota majelis hakim Agung Krisna Harahap melalui pesan tertulis yang diterima, di Jakarta, Senin.

Masih pula ditambah hukuman pencabutan hak dipilih untuk menduduki jabatan publik.

Majelis Hakim Agung yang terdiri dari Artidjo Alkostar, Krisna Harahap dan MS Lumme itu mengabulkan pula permohonan Jaksa Penuntut Umum dari KPK yang meminta agar Anas dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak dipilih untuk menduduki jabatan publik.

Artinya putusan ini memperberat putusan di tingkat kasasi dan pengadilan tingkat pertama.

Pengadilan Tinggi (PT) Jakarta pada 4 Februari 2015 mengurangi vonis Anas menjadi tujuh tahun penjara ditambah denda Rp300 juta.

Sedangkan pengadilan tingkat pertama di Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi Jakarta Pusat pada 24 September 2014 memutuskan Anas divonis delapan tahun penjara dan denda Rp300 juta subsider tiga bulan kurungan ditambah kewajiban membayar uang pengganti sebesar Rp57,59 miliar dan 5,26 juta dolar AS.

Majelis MA berkeyakinan bahwa Anas telah melakukan perbuatan sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 12 huruf a UU TPPK jo Pasal 64 KUHP yaitu melakukan perbuatan korupsi.

Selanjutnya majelis hakim MA juga meyakini Anas melakukan perbuatan sebagaimana pasal 3 UU No. 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang serta Pasal 3 ayat (1) huruf c UU No. 15 Tahun 2002 jo UU No. 25 Tahun 2003 tentang melakukan tindak pidana pencucian uang (TPPU) sehubungan dengan proyek Pembangunan Lanjutan Pusat Pendidikan dan Sekolah Olahraga Nasional (P3SON) Hambalang.

"Dalam pertimbangannya, MA menolak keberatan terdakwa yang menyatakan bahwa tindak pidana asal (predicate crime) dalam TPPU harus dibuktikan terlebih dahulu. Majelis Agung mengacu kepada ketentuan Pasal 69 UU No 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU yang menegaskan bahwa predicate crime tidak wajib dibuktikan terlebih dahulu," tambah Krisna.

Majelis juga menyatakan bahwa adalah keliru pertimbangan pengadilan tingkat pertama dan banding yang menyatakan bahwa hak terdakwa untuk dipilih dalam jabatan publik tidak perlu dicabut mengingat untuk memperoleh jabatan tersebut, tergantung kepada publik sehingga harus dikembalikan kepada penilaian publik atau masyarakat itu sendiri.

"Sebaliknya, MA berpendapat bahwa publik atau masyarakat justru harus dilindungi dari fakta, informasi, persepsi yang salah dari seorang calon pemimpin. Kemungkinan bahwa publik salah pilih kembali haruslah dicegah dengan mencabut hak pilih seseorang yang nyata-nyata telah mengkhianati amanat yang pernah diberikan publik kepadanya," jelas Krisna.

Pengacara Anas, Handika Honggo Wongso menyatakan vonis tersebut gila.

"Itu vonis gila, sungguh sangat berat sekali, jelas majelis hakim tingkat kasasi lebih mengedepankan semangat menghukum dengan meninggalkan semangat untuk mencari keadilan, tentu ke depan kami akan melakukan upaya hukum," kata Handika melalui pesan singkat.

Sidang kasasi menurut Handika seharusnya hanya memeriksa soal penerapan hukum.

"Jika sampai majelis hakim kembali mempertimbangkan fakta untuk dasar menghukum, ya jelas keliru, tentu harus dilawan secara total," tambah Handika.