Kupang (ANTARA News) – Pada 3 Juni lalu, Rino Excel Pah (12) yang mengenakan topi Ti'I Langga dan kain Rote,
duduk terdiam di belakang alat musik berukuran 50 cm
kesayangannya, sasando. Sesekali, jari-jari lentiknya memetik senar-senar pada alat musik yang
terbuat dari daun lontar itu.
Siswa kelas enam Sekolah Dasar itu masih menunggu dimulainya acara bertema perlindungan
anak yang dihadiri Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlidungan Anak (PP dan
PA), Yohana Yambise.
"Pertama-tama susah. Jarinya kaku. Tapi setelah tiga hari tidak
lagi," ujar Rino kepada ANTARA News saat ditemui di Aula Kantor Gubernur
Nusa Tenggara Timur (NTT) di Kupang.
Ibunda Rino, Dorce Pah (40), mengatakan, putra bungsunya itu mulai belajar sasando sejak kelas empat SD atau tepatnya dua tahun lalu.
Sama seperti kakaknya, menurut Dorce, tak ada yang memaksa Rino belajar bermain
sasando. Rino yang meminta sendiri untuk diajarkan alat musik khas tempat
lahirnya itu.
"Dia mau sendiri. Kebetulan ayahnya pengrajin sasando," kata Dorce
yang merupakan warga Desa Oebelo, Kupang itu.
Rino merupakan satu dari anak-anak binaan Lembaga
Pengembangan Masyarakat Madani (LPMM) Kupang bersama LSM ChildFund. Bersama Rino masih ada 39
orang anak yang memiliki minat sama untuk belajar memainkan sasando.
Koordinator proyek LPMM Kupang, Silvester Seno, mengatakan, di Kupang saat ini
tak banyak anak dan remaja yang berminat memainkan sasando. Dua alasan utamanya
karena tingkat kesulitan memainkan sasando yang cukup tinggi dan sasando yang
kalah populer dibandingkan alat musik modern lainnya seperti drum dan gitar.
"Ini soal minat. Tingkat kesulitan (memainkan sasando) cukup tinggi,"
kata dia.
Selain itu, sasando pun tak diperkenalkan pihak sekolah, baik sebagai bagian
dari ekstrakulikuler ataupun muatan lokal.
Oleh karena itu, melalui lembaga swadaya masyarakat yang ia naungi, Silvester
mencoba untuk mempromosikan kesenian lokal misalnya sasando pada anak-anak di
Kupang.
"Sejak tiga tahun terakhir, kita promosikan melalui sekolah ramah anak,
salah satunya budaya lokal. Anak-anak jangan sampai menjadi penonton. Kita
tumbuhkan kecintaan pada budaya lokal melalui sekolah," kata dia.
Silvester mengatakan, selain
sasando, tari Likurai yang berasal dari Kabupaten Belu, NTT, lalu tari Bidu,
juga diperkenalkan melalui sekolah. Anak-anak dibebaskan memilih sesuai
minatnya.
Menurut dia, pemerintah daerah bukannya samasekali tak melakukan apa-apa untuk
menumbuhkembangkan minat anak-anak dan pemuda pada budaya lokal semisal kesenian.
Pemerintah daerah bahkan memasukkan kesenian
sasando dalam program kerjanya. Hanya saja, terkendala soal konsistensi.
"Pemerintah sebenarnya punya program memasukkan kesenian dalam kegiatan
rutinnya, tetapi tidak dilakukan secara konsisten. Di sekolah-sekolah hampir
tida ada ekstrakulikuler untuk pengembangan minat dan bakat, kesenian sasando
misalnya,” pungkas dia.
Menanti benih cinta anak pada sasando tumbuh
6 Juni 2015 18:39 WIB
Rino Excel Pah (12) memainkan alat musik sasando, di Kupang, Rabu (3/6). (ANTARA News/ Lia Wanadriani Santosa)
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2015
Tags: