Utrecht (ANTARA
News) – "Apakah kami dapat memperoleh salinan dokumen presentasi para nara
sumber diskusi? Ini sangat kami perlukan untuk lebih mengetahui Indonesia dalam
kepemimpinan Presiden Jokowi," kata Regina.
Regina adalah
salah seorang peserta forum dialog Indonesia Update 2015 di Meeting District
Center Utrecht, Belanda, pada Sabtu pekan lalu (30 Mei 2015). Ia hadir bersama
lebih dari 100 orang dari kalangan mahasiswa, akademisi, pengusaha dan
Indonesianis di Belanda.
Ketertarikan
warga Belanda keturunan Indonesia itu dikemukakannya setelah mendengarkan
pemaparan Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) Sri Adiningsih,
Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi
dan Informatika (Kominfo) Freddy Herman Tulung dan Guru Besar Riset Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Ikrar Nusa Bakti.
Sri Adiningsih,
yang juga Guru Besar Ilmu Ekonomi di Universitas Gajah Mada (UGM) Yogyakarta,
dalam forum tersebut mengemukakan berbagai situasi dan kondisi aktual
perekonomian Indonesia dalam pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi),
termasuk masalah maupun potensinya di tengah tatanan global.
"Perekonomian
Indonesia berada dalam tekanan, namun fundamentalnya aman. Fitch Rating menilai
peringkat ekonomi Indonesia stabil berstatus BBB minus dan Moody’s juga menilai
stabil berstatus Baa3, serta Standard & Poor’s menilai positif di posisi BB
plus," ujarnya mengutip analisa sejumlah lembaga penilai ekonomi internasional.
Ia menilai, salah
satu keadaan yang memberikan tekanan ekonomi dunia, regional maupun nasional
adalah masih melambatkannya perbaikan pertumbuhan ekonomi di Eropa, dan
normalnya suku bunga bank sentral Amerika Serikat (the Federal Reserve/the
Fed).
Hal itu, menurut
Adiningsih, juga menempatkan pertumbuhan ekonomi di Jepang dan China turun,
sehingga berdampak mulai naiknya harga komoditas.
"Inilah tantangan
yang harus dihadapi Indonesia. Dalam hal ini Presiden Jokowi di awal masa
pemerintahannya mengambil kebijakan menngurangi subsidi bahan bakar minyak
untuk dialihkan untuk pembangunan infrastruktur dan kebutuhan dasar
kemanusiaan," katanya.
Menanggapi adanya
pertanyaan dari peserta dialog mengenai "apa harapan Indonesia dari Belanda?",
Adiningsih pun menyatakan, sengaja menyempatkan diri ke Pelabuhan Rotterdam
guna mempelajari sistem manajemennya.
"Saya
menjadwalkan secara khusus belajar manajemen sistem manajemen pelabuhan di
Rotterdam. Ini untuk mencari jalan keluar bagaimana membuat biaya administrasi
di semua pelabuhan Indonesia menjadi lebih efisien dan efektif," ujarnya.
Pemerintah
Indonesia melibatkan manajemen Pelabuhan Rotterdam untuk proyek pembangunan
Pelabuhan Kuala Tanjung di Sumatera Utara yang senilai 400 juta dolar Amerika
Serikat (AS), dan diharapkan beroperasi mulai 2018.
Saat ini biaya
komponen logistik di Indonesia mencapai 24 persen dari produk domestik bruto
(PDB), dan akan bisa ditekan menjadi 19 persen dengan bantuan manajemen
efisiensi dari pengelolaan manajemen Pelabuhan Rotterdam.
"Pelabuhan
Rotterdam mampu menjadi titik utama keluar masuknya logistik dari dan menuju
berbagai negara Eropa. Pemerintahan Presiden Jokowi yang mencanangkan program
kemaritiman melalui pemanfaatan pelabuhan sebagai tol laut memerlukan manajemen
semacam ini," katanya.
Ia pun
menegaskan, Pemerintahan Jokowi membangun kerja sama asing berbasis kemandirian
untuk kesejahteraan manusia.
"Ini
paradigma baru dalam pembangunan untuk pengembangan kemanusiaan, tingkatkan
daya saing internasional dan produk nasional, serta kemandirian ekonomi,"
demikian Sri Adiningsih.
Ketika Indonesianis
di Belanda mempertanyakan masa depan hubungan kedua negara, Ikrar Nusa Bakti
mengemukakan hubungan kebudayaan yang bersahabat di antara kedua bangsa jauh
lebih bernilai dibanding masalah hukuman mati bagi bandar narkoba.
"Silakan
saja jika ada perbedaan pendapat di masyarakat Belanda mengenai penerapan hukum
positif eksekusi mati bagi pengedar narkoba di Indonesia. Namun, kita jangan
mengorbankan hubungan kebudayaan yang bersahabat," ujarnya.
Ia menilai, dalam
sepuluh tahun terakhir ini juga baik, sehingga potensi inilah yang harus terus
dikembangkan.
Gelombang
naik-turunnya tensi politik memang bisa terjadi di antara kedua negara, namun
masyarakat jangan sampai terpancing bersikap berlebihan yang membuat
hubungannya menjadi sangat sensitif dan melukai.
"Pemerintah
zaman Orde Baru pun pernah sangat tersinggung terhadap sikap menteri Pronk dari
Belanda, sehingga Presiden Soeharto membubarkan IGGI," katanya.
Presiden Soeharto
pada 20 Februari 1967 setuju dibentuknya kelompok negara donor untuk pembangunan
Indonesia (Inter-Governmental Group on Indonesia/IGGI), namun ia membubarkannya
pada awal 1992 karena menilai sikap Menteri Kerja Sama Belanda JP Pronk yang
memimpin IGGI terlalu mengaitkan bantuan negerinya dengan kebijakan pemerintah
RI.
IGGI
beranggotakan Belanda, Bank Pembangunan Asia (ADB), Dana Moneter Internasional
(IMF), Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), Bank Dunia,
Australia, Belgia, Inggris, Kanada, Prancis, Italia, Jepang, Selandia Baru,
Swiss dan Amerika Serikat (AS).
Soeharto pada 22
Maret 1992 setuju Bank Dunia membentuk kelompok konsultatif bagi pembangunan RI
(Consultative Group on Indonesia), dan Belanda tidak berperan penting lagi.
Namun demikian,
Ikrar mengemukakan, di tengah kegentingan hubungan politik dan ekonomi kedua
pemerintahan saat itu, ternyata masyarakat dan kalangan akademisi Indonesia dan
Belanda justru meningkatkan rasa saling memahami.
"Berkaitan
dengan sempat ditarik pulangnya Duta Besar Belanda untuk Indonesia beberapa
waktu lalu karena anti-hukuman mati bagi bandar narkoba, saya kira jangan
sampai mempengaruhi masyarakat kedua negara untuk tetap bersahabat baik,"
kata Ikrar Nusa Bakti menambahkan.
Harapan Indonesianis di Belanda untuk Pemerintahan Jokowi
6 Juni 2015 02:12 WIB
Ketua Dewan Pertimbangan Presiden (Watimpres) Sri Adiningsih dan Direktur Jenderal Informasi dan Komunikasi Publik (IKP) Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kominfo) Freddy Herman Tulung dalam kunjungan kerja Indonesia Update 2015 di Belanda, Sabtu (30 Mei 2015). (ANTARA/Priyambodo RH)
Oleh Priyambodo RH
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015
Tags: