Indonesia pantas jadi penjuru dunia
29 Mei 2015 21:18 WIB
ilustrasi Liburan di Kota Tua Jakarta Sejumlah wisatawan menikmati suasana Museum Fatahillah di kawasan Kota Tua Jakarta, Kamis (14/5). Sejumlah warga memanfaatkan liburan panjang akhir pekan dengan mengunjungi tempat wisata di kawasan ibukota. ANTARA FOTO/Andika Wahyu ()
Jakarta (ANTARA News) - Praktisi Tata Ruang Endy Subijono mengatakan Indonesia pantas menjadi penjuru dunia karena banyaknya bangunan-bangunan pusaka di Tanah Air.
"Indonesia pantas menjadi penjuru dunia karena kepusakaannya yang kaya. Indonesia setidaknya memiliki 330 benteng," ujar Endy dalam seminar kota pusaka di Jakarta, Jumat.
Tak hanya benteng, juga banyak stasiun kereta dan pabrik gula. Menurut Endy, bangunan tua harus jadi aset.
"Bangunan tua bisa dimanfaatkan untuk fungsi baru."
Sebenarnya, lanjut dia, tidak ada perbedaan secara fisik antara kota biasa dengan kota pusaka. Namun, disebut kota pusaka karena semakin berumur bangunan, makin banyak memori yang tersimpan dalam bangunan itu.
"Pada aturan kita, bangunan dalam kota pusaka harus berumur minimal 50 tahun, kemudian ada sejarahnya dan mencerminkan zamannya," jelas dia.
Direktur Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Ir Adjar Prajudi MCM MCE, mengatakan pihaknya bertekad mengembalikan identitas kota pusaka di Tanah Air yang terancam hilang karena pesatnya pertumbuhan ekonomi perkotaan.
"Kota pusaka harus mendapatkan perhatian karena pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat, dan dikhawatirkan menggerus peninggalan budaya," jelas Adjar.
Adjar menambahkan pihaknya mendorong penyusunan Pedoman Pelestarian Kota Pusaka dan Rencana Aksi Pengelolaan Kota Pusaka.
Harapannya, lanjut Adjar, Indonesia tetap tumbuh dan menjadi sebuah negara yang berkembang pesat, tanpa mengabaikan perkembangan kota-kota pusaka yang merupakan warisan luhur bangsa.
Pemeliharaan kota pusaka tertuang dalam UU 28/2002 tentang Bangunan Gedung. Bagian keempat UU tersebut mengatur tentang pelestarian bangunan cagar budaya.
Pasal 38 ayat I menyebutkan bangunan gedung dan lingkungannya yang ditetapkan sebagai cagar budaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan harus dilindungi dan dilestarikan.
"Indonesia pantas menjadi penjuru dunia karena kepusakaannya yang kaya. Indonesia setidaknya memiliki 330 benteng," ujar Endy dalam seminar kota pusaka di Jakarta, Jumat.
Tak hanya benteng, juga banyak stasiun kereta dan pabrik gula. Menurut Endy, bangunan tua harus jadi aset.
"Bangunan tua bisa dimanfaatkan untuk fungsi baru."
Sebenarnya, lanjut dia, tidak ada perbedaan secara fisik antara kota biasa dengan kota pusaka. Namun, disebut kota pusaka karena semakin berumur bangunan, makin banyak memori yang tersimpan dalam bangunan itu.
"Pada aturan kita, bangunan dalam kota pusaka harus berumur minimal 50 tahun, kemudian ada sejarahnya dan mencerminkan zamannya," jelas dia.
Direktur Direktorat Penataan Bangunan dan Lingkungan Direktorat Jenderal Cipta Karya Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat, Ir Adjar Prajudi MCM MCE, mengatakan pihaknya bertekad mengembalikan identitas kota pusaka di Tanah Air yang terancam hilang karena pesatnya pertumbuhan ekonomi perkotaan.
"Kota pusaka harus mendapatkan perhatian karena pertumbuhan ekonomi yang sangat pesat, dan dikhawatirkan menggerus peninggalan budaya," jelas Adjar.
Adjar menambahkan pihaknya mendorong penyusunan Pedoman Pelestarian Kota Pusaka dan Rencana Aksi Pengelolaan Kota Pusaka.
Harapannya, lanjut Adjar, Indonesia tetap tumbuh dan menjadi sebuah negara yang berkembang pesat, tanpa mengabaikan perkembangan kota-kota pusaka yang merupakan warisan luhur bangsa.
Pemeliharaan kota pusaka tertuang dalam UU 28/2002 tentang Bangunan Gedung. Bagian keempat UU tersebut mengatur tentang pelestarian bangunan cagar budaya.
Pasal 38 ayat I menyebutkan bangunan gedung dan lingkungannya yang ditetapkan sebagai cagar budaya sesuai dengan peraturan perundang-undangan harus dilindungi dan dilestarikan.
Pewarta: Indriani
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015
Tags: