Kuala Lumpur (ANTARA News) - Menteri Luar Negeri Malaysia, Syed Hamid Albar, mempertanyakan keabsahan proses yang membawa eksekusi Saddam Hussein pada Sabtu, dan mengingatkan hal itu akan membuat risiko makin besarnya pertumpahan darah di Irak. "Banyak kalangan, umumnya dari komunitas internasional, tidak setuju dengan hukuman gantung dan mempertanyakan prosesnya," katanya kepada AFP. Ia menimpali, "Kami terkejut, walau ada hal-hal tersebut, mereka tetap melakukannya." "Saya pikir akan ada akibatnya. Satu-satunya yang kita harapkan adalah mereka akan mampu menanggung hal ini. Sebab konflik tidak akan selesai, ini bukan jawaban," katanya. Syed Hamid, yang negaranya saat ini menjadi Ketua Konferensi Negara Islam (OKI), mengatakan terdapat perbedaan pendapat di OKI mengenai bagaimana seharusnya nasib Saddam. "Saya pikir di OIC ada beberapa pendapat mengenai hal tersebut, namun semua sependapat mengenai kebutuhan rekonsiliasi untuk menyatukan semua pihak, mengakhiri kekerasan serta menciptakan stabilitas," ujarnya. Ia mengemukakan, "Saya pikir Saddam telah melakukan banyak kesalahan...namun dia seharusnya diadili menurut hukum internasional, begitu juga proses bandingnya harus dilakukan secara benar." "Saya berharap akan ada usaha lebih besar dari pemerintah Irak untuk terjadinya rekonsiliasi," katanya. Sementara itu, Wakil Perdana Menteri (PM) Malaysia, Najib Tun Razak, mengatakan bahwa Malaysia menghormati keputusan Pemerintah Irak untuk mengeksekusi Saddam, namun memperingatkan langkah tersebut dapat makin meningkatkan konflik di negara tersebut. "Kelihatannya, pemerintah baru Irak telah menggunakan haknya untuk melaksanakan hukuman mati terhadap mantan presiden Saddam Hussein. Pada Prinsipnya, kami menghormati apa yang sudah dilakukan pemerintah yang dipilih oleh rakyat," katanya kepada kantor berita Bernama. Ia menambahkan, "Namun, ada dua hal yang menjadi perhatian Malaysia serta banyak komunitas internasional. Satu adalah proses persidangan, lainnya adalah apakah hukuman mati tersebut akan meningkatkan konflik di Irak." (*) (Foto Repro AFP/Al Iraqiya TV: Saddam Hussein)