Terjawab Sudah, Pro-Kontra Vonis Mati Terhadap Saddam Hussein
30 Desember 2006 17:28 WIB
Oleh Gusti Nur Cahya Aryani
Jakarta (ANTARA News) - "Saya serahkan diri saya sebagai pengorbanan. Jika Tuhan Yang Maha Kuasa mengizinkan, maka jiwa saya akan membawa saya bersama-sama orang yang mati syahid."
Sebaris kalimat tersebut terdapat dalam surat yang merupakan tulisan tangan Presiden Irak periode 16 Juli 1979 hingga 9 April 2003 Irak, Saddam Hussein Abd al-Majid al-Tikriti, yang diperoleh kantor berita Reuters dari pengacaranya di Yordania.
Menurut tim pengacaranya, surat tersebut ditulis Saddam tidak lama setelah vonis hukuman mati terhadapnya 5 November lalu karena kejahatan selama berkuasa, dan sebelum banding di Pengadilan Tinggi Irak Selasa pekan ini yang menguatkan hukuman itu.
Pria yang dilahirkan di Tikrit (Irak) pada 28 April 1937 itu dalam sepucuk suratnya menorehkan kalimat, eksekusi mati atas dirinya merupakan sebuah pengorbanan untuk Irak dan meminta rakyat Irak untuk bersatu melawan pasukan AS.
Sementara itu, dengan dikukuhkannya putusan hukuman mati oleh Pengadilan Tinggi Irak, maka berarti hukuman mati secara digantung harus dilaksanakan dalam waktu 30 hari. Dan, Saddam pun digantung menjelang pagi, sekira pukul 06:00 waktu Baghdad (11:00 WIB), Sabtu, 30 Desember 2007, di saat umat muslim sedunia memperingati Hari Raya Kurban, Idul Adha, 1427 Hijriyah.
Putusan pengadilan banding itu disahkan oleh Presiden Irak Jalal Talabani, dan Hakim Arif Shaheen mengatakan bahwa hukuman tersebut tidak bisa diubah.
Saddam (69) dan enam mantan pembantu utamanya di pemerintah, dinyatakan bersalah memerintahkan pembunuhan 148 orang Syiah di kota Dujail pada 1982 sebagai pembalasan atas upaya pembunuhan yang gagal terhadap dirinya.
Saddam juga menghadapi pengadilan terpisah dalam kaitan dengan operasi militer terhadap orang-orang Kurdi pada 1980-an.
Tim pengacara Saddam menyatakan tidak terkejut atas putusan pengadilan banding yang mengukuhkan hukuman mati bagi Saddam dan dua pembantunya itu.
"Ada pengadilan-pengadilan politik yang tidak memiliki kaitan dengan legalitas, karena mereka dibentuk oleh orang-orang yang melakukan invasi dan yang datang dari Iran dan agenda mereka adalah menghancurkan Irak dan rakyatnya," kata ketua tim pembela Saddam, Khalil Duleimi.
Tolak hukuman mati
Begitu vonis mati Saddam Hussein dikuatkan, sejumlah negara layaknya Prancis, Italia, Jerman dan Tahta Suci Vatikan mengulangi pernyataan menentang hukuman mati.
Presiden Jacques Chirac menyatakan, menginginkan pelarangan hukuman mati diabadikan dalam undang-undang Prancis pada 2007.
Namun, Kementerian Luar Negeri Prancis mengemukakan, keputusan menghukum Saddam adalah urusan rakyat Irak dan penguasa berdaulat di Irak.
Pemerintahan Paris menghapus hukuman mati pada 1981, setelah undang-undangnya disetujui pada masa pemerintahan sayap kiri oleh Presiden Francois Mitterand.
Sedangkan, Perdana Menteri (PM) Italia, Romano Prodi, menyatakan bahwa penghukum-matian mantan pemimpin Irak itu tidak akan menenangkan negara yang terkoyak perang itu.
"Dari sudut pandang politik, keputusan menghukum mati Saddam lebih menghasilkan dampak buruk daripada baik bagi kemapanan negara itu," kata Prodi dalam temu pers akhir tahunnya.
Pernyataan senada dikemukakan oleh Kepala Urusan Hak Azasi Manusia Perserikatan Bangsa-Bangsa (HAM PBB) yang minta pemerintah Irak menahan diri dalam putusan hukuman mati untuk Saddam Hussein, dan mengemukakan kekhawatirannya atas keadilan dalam sidang tersebut.
"Putusan banding adalah suatu keputusan yang lama dan rumit serta memerlukan penelitian secara hati-hati," kata Komisaris Tinggi HAM PBB, Louise Arbour.
Ia menimpali, "Ada banyak kekhawatiran mengenai ketidakberpihakan pada sidang tingkat pertama, dan ada keharusan jaminan bahwa masalah ini dihadapi secara komprehensif. Karena itu, saya minta pemerintah Irak tidak bertindak tergesa-gesa untuk melakukan eksekusi dalam kasus ini."
Dia mengemukakan, Irak dan masyarakat internasional berkepentingan untuk memastikan bahwa hukuman mati dilakukan hanya setelah pengadilan tingkat pertama maupun pengadilan banding terlihat dipercaya dan tidak memihak.
Sementara itu, Thomas Steg selaku Wakil Juru Bicara Kanselir Jerman, Ny. Angela Merkel, layaknya dikutip kantor berita DPA menyatakan, "Hukuman mati ditolak oleh Pemerintah Jerman."
Dia menekankan, hukuman mati dilarang di Jerman dan seluruh negara Uni Eropa (UE), yang kini beranggotakan 25 negara.
"Tapi, kami memandang perlu langkah hukum terhadap yang terjadi di Irak pada masa lalu dan tidak ada tanda bahwa pengadilan atau pengadilan banding tidak berjalan sesuai dengan prinsip baik perundang-undangan Irak maupun aturan hukum," ujar Steg.
Secara terpisah, Kardinal Renato Martino yang menjadi Ketua Dewan Keadilan dan Perdamaian Tahta Suci Vatikan, mengatakan kepada harian La Republica bahwa satu kejahatan tidak dapat dibandingkan dengan kejahatan lain, dan mengharapkan hukuman mati terhadap Saddam tidak dilaksanakan.
"Hukuman mati bukan kematian alamiah, dan tak seorang pun dapat memberi kematian, bahkan negara pun tidak," kata Martino, dalam berita yang dipublikasikan La Republica edisi Kamis (28/12).
Ajaran gereja Katolik, menurut dia, menuntut kehidupan manusia dilindungi dari konsepnya untuk mendapatkan kematian alamiah.
Hanya saja, Pemerintah Amerika Serikat (AS) pada Selasa (27/12) menyambut baik hukuman itu, dan mengatakan bahwa Washington terus menghargai "upaya berani" dari hakim-hakim Irak dalam "memastikan bahwa keadilan telah menang atas kekejaman Saddam Hussein kepada warga Irak."
Gedung Putih menduga bahwa Saddam Hussein sangat mungkin digantung paling cepat Sabtu, kata seorang pejabat senior AS yang tak ingin disebutkan jatidirinya, Kamis (28/12), sebagaimana dikutip dari kantor berita Prancis (AFP) di Texas.
Ternyata, hiruk pikuk pro-kontra putusan hukuman mati kepada mantan Presiden Irak itu tidak menyurutkan langkah ratusan warga Irak untuk melamar bertugas menjadi algojo Saddam Hussein, sebagaimana dikatakan penasehat Perdana Menteri Irak, Nuri al-Maliki.
Bassam al-Husseini mengatakan kepada jaringan televisi AS (ABC) bahwa para pelamar itu terdiri atas orang-orang dari tiga kelompok keagamaan dan seluruh kelompok etnis.
Irak tidak memiliki algojo resmi dan tidak ada posisi seperti itu sebelumnya, demikian komentar ABC.
Menanggapi hukuman terhadap Saddam Hussein, Pemerintah Republik Indonesia berharap bahwa penegakan keadilan dalam proses peradilan Saddam Hussein hingga tingkat
akhir pada akhirnya dapat membantu proses rujuk di Irak.
"Pemerintah RI dapat memahami penjatuhan hukuman mati oleh pengadilan Irak terhadap Saddam Hussein," kata Juru Bicara Departemen Luar Negeri RI (Deplu-RI), Desra Percaya.
Situasi konflik di Irak, menurut dia, bukan situasi yang ideal bagi suatu proses yang sepenuhnya adil, tetapi bagaimanapun juga Saddam telah diberikan kesempatan untuk membela diri.
"Proses itu pasti lebih baik dari apa yang dialami oleh banyak orang yang sama sekali tidak memperoleh keadilan pada masa Saddam berkuasa," ujarnya.
Saddam Hussein dinyatakan bersalah terhadap umat manusia dan dijatuhi hukuman mati dengan digantung karena ia memerintahkan pembunuhan, penyiksaan dan pemenjaraan 148 pengikut Syiah setelah upaya pembunuhan 1982 terhadap dirinya di kota kecil Dujail.
Desra mengatakan, melalui proses banding hingga tahap akhir, diharapkan keadilan betul-betul lebih dapat ditegakkan sehingga proses peradilan atas Saddam pada akhirnya dapat membantu proses rekonsiliasi di Irak.
Pro-kontra putusan hukuman mati bagi Saddam Hussein terjawab sudah, melalui laporan sejumlah media massa dari Baghdad mengenai eksekusi terhadap dirinya sehari menjelang tutup tahun 2006. Sekalipun, boleh tidaknya penayangan eksekusi terhadap Saddam kemudian menjadi pro-kontra yang baru. (*)
(Foto: Saddam Hussein)
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2006
Tags: