Oleh Chaidar Abdullah Jakarta (ANTARA News) - Kepergian mantan orang terkuat Irak, Saddam Hussein --yang terguling dalam serbuan bala tentara koalisi pimpinan Amerika Serikat (AS) pada Maret 2003-- agaknya semakin menimbulkan tanda-tanya baru menuju perdamaian di Negeri Seribu Satu Malam itu. Akankah rakyat Irak hidup dalam kedamaian, atau mereka malah akan terpuruk ke dalam kekacauan lebih dalam? Saddam menghadapi tiang gantungan sekira pukul 06.00 waktu Irak (11.00 WIB), Sabtu (30/12), akhir dramatis perjalanan hidup orang yang menguasai Irak dengan menebar ketakutan selama tiga dasawarsa. Saddam dinyatakan bersalah atas pembunuhan dan penyiksaan terhadap 148 warga Syiah di Dujail setelah upaya pembunuhan atas dirinya pada 1982 --selama perang melawan Iran. Pengadilan banding di Baghdad pekan terakhir 2006 memperkuat keputusan pengadilan yang telah menjatuhkan vonis mati atas Saddam pada 5 November. Peraturan hukum di Irak menetapkan Saddam harus menjalani hukuman mati 30 hari setelah vonis dijatuhkan. Tetapi mantan orang kuat Negeri 1001 Malam itu belum menghadapi proses pengadilan atas apa yang dialami suku Kurdi, yang mendiami wilayah Irak utara, selama masa kekuasaannya. Pelaksanaan hukuman mati atas Saddam, Sabtu, dipandang oleh kantor berita Jerman (DPA) mengakhiri babak panjang hubungan keruh dengan AS dan belahan lain dunia yang terlibat dalam Perang Teluk pertama 1991, satu dasawarsa pertikaian mengenai sanksi, larangan terbang dan senjata pemusnah massal. Presiden AS George W. Bush selama ini menuduh Irak memiliki senjata pemusnah massal dan menjadikannya sebagai alasan utama serbuan 2003, meski hingga kini tuduhan itu tak pernah terbukti. Saddam ditangkap oleh tentara pimpinan AS di satu lubang persembunyian di daerah kelahirannya, Tikrit. Selama ini, di mata Washington --terutama George W. Bush-- Saddam adalah "tukang jagal dari Baghdad". Ia juga dipandang sebagai diktator kejam yang menyulut masyarakat internasional bertindak. Sejauh ini Bush juga tetap menuduh Saddam diam-diam berusaha mengembangkan senjata nuklir dan mengancam Israel dengan rudal yang diduga mampu membawa bahan kimia atau biologi. Hubungan keruh antara Washington dan Baghdad jadi masalah pribadi, ketika Saddam diduga "berencana membunuh mantan presiden AS George HW Bush --ayah George W. Bush-- selama kunjungan ke Kuwait", setelah Perang Teluk. Presiden George W. Bush telah berbicara mengenai upaya Saddam untuk membunuh ayahnya, sebelum ia mengerahkan tentara Amerika ke Irak. Meskipun demikian hubungan AS sendiri dengan Saddam tak selamanya berjalan suram. Ketika Saddam memangku jabatan pada 1979, setelah kudeta oleh Partai Baath satu dasawarsa sebelumnya, ia mendapat dukungan kuat Amerika Serikat --yang saat itu memandang dia sebagai pancaran kekuatan, kestabilan dan kekuasaan sekuler di wilayah yang rusuh. Saat kelompok yang dipandang sebagai kelompok garis keras oleh Amerika berkuasa di tetangga Irak, Iran, dan menduduki Kedutaan Besar AS di Teheran, Washington mendukung Irak dalam perang yang menghancurkan kedua negara itu pada 1980-1988. Namun semua itu berubah ketika Irak menyerbu tetangganya yang lebih kecil, Kuwait, pada musim panas 1990, menguasai ladang minyak dan pelabuhannya --tindakan yang melanggar hukuman kedaulatan internasional. Dalam waktu beberapa bulan saja setelah tentara Irak menyerbu Kuwait, Bush senior menghimpun koalisi besar internasional untuk memukul mundur pasukan Saddam dari Kuwait dalam perang yang meletus Januari 1991. Koalisi tersebut memporak-porandakan tentara Irak dan memaksanya kembali ke dalam garis perbatasan. Namun Bush senior dikecam karena mematuhi mandat PBB yang membatasi aksi militer untuk mengusir Saddam dari Kuwait. Pengecam Bush senior berpendapat pasukan AS mestinya bergerak terus ke Baghdad dan menggulingkan Saddam --yang dilahirkan 28 April 1937, di al-Awja, dekat Tikrit-- tapi Bush senior malah berharap sanksi keras PBB akan membuat lemah rejim Saddam dan menyulut kudeta terhadap dia. Sanksi yang melarang ekspor minyak dan impor bahan barang penting untuk memelihara prasarananya, memang melumpuhkan ekonomi Irak dan membuat morat-morit hidup rakyatnya, tapi tak menggoyahkan Saddam --yang dua kali menikah dan memiliki tiga anak perempuan dan tiga anak laki. PBB memperkirakan tak kurang dari 500.000 anak Irak tewas akibat ulah Saddam. Belakangan, Dewan Keamanan PBB mengubah sanksi sehingga Irak dapat menjual secara terbatas minyak untuk membeli makanan, obat dan pasokan lain kemanusiaan. Perubahan strategi Dengan berakhirnya hidup Saddam apakah masalah di Irak sudah selesai? "Irak sekarang bukanlah Saddam, karena Saddam hanyalah penyulut ketakutan pada masa lalu," kata seorang pengulas di laman "Gulf News". Persoalan yang sekarang dihadapi Irak adalah apakah pasukan koalisi mampu menyelesaikan tahap akhir pendudukan mereka di negeri 1001 malam itu? Beberapa pengamat Internasional menilai tahap akhir pendudukan telah dinodai oleh salah perhitungan serius pasukan kolalisi --terutama AS dan Inggris-- dalam menyelamatkan sasaran strategis di wilayah itu Kesalahan pertama adalah berita tentang tentara Inggris yang membebaskan tahanan yang dipenjarakan di Satuan Kejahatan Serius yang berpusat di penjara Jameat, Basra. Kasus itu dipandang sebagai kekeliruan paling buruk selama perang di Irak. Sejauh ini, tekanan atas pemerintah yang lemah dan terpecah di Baghdad agar memasuki bidang keamanan tak membuahkan hasil, sementara AS bermaksud melancarkan pukulan terakhir guna mengusir kelompok perlawanan dari Baghdad dan sekitarnya. Gagasan mengenai penyerahan tugas keamanan kepada pasukan Irak dalam waktu dekat menjadi pukulan diam-diam yang mematikan. Pemerintah Irak dirundung kemelut dan dipermalukan oleh kegagalannya untuk mengekang kelompok perlawanan, meskipun tetap tak mau menerima temuan laporan "Iraq Study Group" (ISG), yang dipimpin oleh mantan menteri luar negeri AS James Baker. ISG mengusulkan penarikan bertahap tentara AS sesegera mungkin tanpa terlihat seperti aksi "menyerang lalu lari" dan diplomasi baru dengan negara tetangga Irak. Masalah dalam temuan kelompok Baker dipandang sebagai analisis yang lebih bagus mengenai apa yang telah berjalan keliru dan bukan panduan bagi apa yang harus dilakukan kemudian. Sementara itu, Menteri Pertahanan baru AS Robert Gates malah membuat makin kecewa banyak kelompok di Amerika dengan menganjurkan dorongan besar terakhir bagi Irak dan bukan menyarankan penarikan segera. Dan Frederick Kagan dari American Enterprise Institute, kelompok pemikir Gedung Putih, sebagaimana dilaporkan Sunday Times, berkata, "Mensahkan strategi semacam itu akan menandai perubahan dramatis dari pendekatan militer yang telah dilancarkan militer AS sejak 2003. Berbagai upaya militer Amerika untuk menegakkan keamanan antara lain telah bersifat reaktif dan sporadis." Amerika kelihatannya makin gelisah dengan kondisi di Irak, karena Washington tak suka dengan upaya tanpa tanda kemajuan yang jelas, tapi AS juga khawatir terhadap kegagalan total di Irak dan konsekuensi dari kegagalan semacam itu, seperti yang dialaminya di Indo-China dan Somalia Kematian Saddam, dua hari menjelang berakhirnya 2006, memang telah mengakhiri babnya dalam sejarah Irak, tapi dipandang tak banyak membantu misi AS di negara Arab itu --yang telah dirongrong oleh aksi perlawanan tak kenal henti dan bentrokan antar-aliran yang terus meningkat. (*) (Foto: Saddam Hussein)