MK tunda sidang uji materi UU KPK
19 Mei 2015 13:31 WIB
Dua anggota Biro Hukum KPK Imam Wahyu (kiri) dan Rasamala Aritonang (kanan) selaku pihak terkait bergegas meninggalkan ruang sidang pleno Pengujian UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (18/5). Sidang yang dimohonkan oleh Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) yang menguji keabsahan Pasal 32 ayat (2) dari UU tersebut ditunda karena sejumlah ahli yang dijadwalkan memberikan kesaksian tidak ada yang hadir. (ANTARA FOTO/Widodo S. Jusuf)
Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Konstitusi menunda sidang uji materi Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU KPK), akibat dari tidak hadirnya ahli dari pihak pemohon dan pemerintah.
"Baik, karena dari pemohon dan pemerintah tidak bisa menghadirkan ahli, maka sidang akan kami tunda sampai pada Rabu 27 Mei 2015. Dengan demikian sidang selesai," kata Hakim Konstitusi Anwar Usman di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Selasa.
Ada pun agenda sidang kali ini adalah untuk mendengarkan keterangan ahli baik dari pihak pemohon dan pemerintah.
Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) sebagai pemohon menjelaskan bahwa semula pihaknya akan menghadirkan dua ahli, yaitu Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gajah Mada (UGM) Prof. Eddy O.S. Hiariej serta ahli dari Komnas HAM.
"Prof. Eddy tidak berkenan hadir karena sedang ada tugas di Yogyakarta. Sedangkan dari Komnas HAM pada awalnya bersedia menjadi Ahli, namun dalam perjalanannya pihak Komnas HAM menyatakan tidak bisa hadir," jelas Viktor salah seorang anggota FKHK.
Sementara itu pihak pemerintah juga memohon Majelis Hakim untuk menunda kehadiran ahli, dan meminta Majelis untuk diperkenankan menghadirkan ahli pada sidang selanjutnya.
Sebelumnya pemohon menyebutkan bahwa gugatannya ini terkait dengan pimpinan KPK yang berstatus tersangka kemudian harus diberhentikan oleh Keputusan Presiden.
"Kami menganggap ada sedikit pertentangan norma apabila kita merujuk kepada penjelasan definisi tersangka menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana," ujar salah satu anggota FKHK Kurniawan, dalam sidang di Mahkamah Konstitusi Jakarta pada Kamis (26/2).
Pemohon menyebutkan bahwa Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Pasal 8 ayat (1) yang menyatakan bahwa seorang tersangka haruslah dianggap benar sebelum ada putusan pengadilan yang sudah bersifat tetap, mempunyai kekuatan hukum tetap atau inkracht.
"Nah, artinya kami menganggap pemberhentian sementara atau diberhentikan sementara seorang pimpinan KPK menjadi sedikit pertentangan norma karena tidak memenuhi aspek kepastian hukum," kata Kurniawan.
Pemohon kemudian juga menilai bahwa tidak ada satu ketentuan pun di dalam Undang-Undang Kepolisian maupun Kejaksaan yang mensyaratkan bahwa ketika pimpinan polisi maupun kejaksaan menjadi seorang tersangka itu diberhentikan secara sementara.
Oleh sebab itu pemohon merujuk kepada asas praduga tak bersalah, kemudian asas persamaan di hadapan hukum atau equality before the law.
Dalam petitumnya, pemohon meminta Mahkamah supaya Pasal 32 ayat (2) Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
"Baik, karena dari pemohon dan pemerintah tidak bisa menghadirkan ahli, maka sidang akan kami tunda sampai pada Rabu 27 Mei 2015. Dengan demikian sidang selesai," kata Hakim Konstitusi Anwar Usman di Gedung Mahkamah Konstitusi Jakarta, Selasa.
Ada pun agenda sidang kali ini adalah untuk mendengarkan keterangan ahli baik dari pihak pemohon dan pemerintah.
Forum Kajian Hukum dan Konstitusi (FKHK) sebagai pemohon menjelaskan bahwa semula pihaknya akan menghadirkan dua ahli, yaitu Guru Besar Hukum Pidana Universitas Gajah Mada (UGM) Prof. Eddy O.S. Hiariej serta ahli dari Komnas HAM.
"Prof. Eddy tidak berkenan hadir karena sedang ada tugas di Yogyakarta. Sedangkan dari Komnas HAM pada awalnya bersedia menjadi Ahli, namun dalam perjalanannya pihak Komnas HAM menyatakan tidak bisa hadir," jelas Viktor salah seorang anggota FKHK.
Sementara itu pihak pemerintah juga memohon Majelis Hakim untuk menunda kehadiran ahli, dan meminta Majelis untuk diperkenankan menghadirkan ahli pada sidang selanjutnya.
Sebelumnya pemohon menyebutkan bahwa gugatannya ini terkait dengan pimpinan KPK yang berstatus tersangka kemudian harus diberhentikan oleh Keputusan Presiden.
"Kami menganggap ada sedikit pertentangan norma apabila kita merujuk kepada penjelasan definisi tersangka menurut Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana," ujar salah satu anggota FKHK Kurniawan, dalam sidang di Mahkamah Konstitusi Jakarta pada Kamis (26/2).
Pemohon menyebutkan bahwa Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman Pasal 8 ayat (1) yang menyatakan bahwa seorang tersangka haruslah dianggap benar sebelum ada putusan pengadilan yang sudah bersifat tetap, mempunyai kekuatan hukum tetap atau inkracht.
"Nah, artinya kami menganggap pemberhentian sementara atau diberhentikan sementara seorang pimpinan KPK menjadi sedikit pertentangan norma karena tidak memenuhi aspek kepastian hukum," kata Kurniawan.
Pemohon kemudian juga menilai bahwa tidak ada satu ketentuan pun di dalam Undang-Undang Kepolisian maupun Kejaksaan yang mensyaratkan bahwa ketika pimpinan polisi maupun kejaksaan menjadi seorang tersangka itu diberhentikan secara sementara.
Oleh sebab itu pemohon merujuk kepada asas praduga tak bersalah, kemudian asas persamaan di hadapan hukum atau equality before the law.
Dalam petitumnya, pemohon meminta Mahkamah supaya Pasal 32 ayat (2) Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 dinyatakan bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Pewarta: Maria Rosari
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015
Tags: