PM Australia tetap sarankan strategi tolak manusia perahu
18 Mei 2015 13:52 WIB
Halaman terdepan harian "The Australia", Senin (18/5), menampilkan judul penegasan PM Australia Tony Abbott tentang kebijakannya menolak manusia perahu sebagai kebijakan yang paling tepat dan pantas bila ditiru oleh Indonesia, Malaysia, dan Thailand terkait dengan manusia-manusia perahu etnis Rohingya yang dibantah kewarganegaraannya oleh Myanmar. (ANTARANews/Ella Syafputri)
Perth (ANTARA News) - Perdana Menteri (PM) Australia, Tony Abbott, menegaskan bahwa kebijakannya menolak manusia-manusia perahu sebagai kebijakan yang paling tepat menumpas praktik perdagangan manusia, dan menilai pantas bila negara-negara di Asia Tenggara dan Eropa meniru strategi Australia.
Menurut Abbott, lebih banyak lagi orang akan mati di lautan bila negara-negara di Asia Tenggara dan Afrika Utara tidak mengambil sikap tegas membalikkan perahu ke arah mereka datang.
Seperti dilansir dari harian utama "The Australian", Senin, PM Tony Abbott menyalahkan para pelaku perdagangan manusia terkait dengan melonjaknya volume manusia-manusia perahu.
"Selama pedagang manusia masih ada, akan terus ada kematian di laut. Dan satu-satunya cara untuk menghentikan kematian di laut adalah dengan mengentikan perahu itu dan artinya--saya harus bilang--dengan membalikkan ke arah mereka datang," ujar Abbott.
Ditanya komentarnya tentang kondisi perairan Asia Tenggara yang tengah dilanda krisis manusia perahu asal Bangladesh dan etnis Rohingya dari Myanmar, Abbott menjawab bahwa Australia "sangat senang untuk bisa bekerja bersama negara-negara tetangga mengatasi masalah ini."
Australia akan hadir dalam pertemuan rutin di Bangkok pada 29 Mei mendatang, termasuk duta besar untuk urusan perdagangan manusia, Andrew Goledzinowski.
Abbott mengaku tidak pernah menyesal dengan kebijakan menolak perahu-perahu itu mendarat ke Australia dan melihat sangat wajar bila Indonesia, Malaysia, dan Thailand melakukan hal serupa.
Dalam beberapa pekan terakhir, ratusan pengungsi etnis Rohingya dan warga Bangladesh telah mendarat di Kuala Nongsa, Aceh. Kondisi pengungsi etnis Rohingya sangat memprihatinkan, beberapa di antara mereka tewas akibat kelaparan dan kehausan selama terombang-ambing di lautan.
Kepala badan hak asasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Jumat menyatakan terkejut bahwa tiga negara Asia Tenggara mengusir pengungsi kelaparan, yang sekitar 6.000 di antaranya terdampar di laut.
Zeid Raad Al Husein mendesak Thailand, Malaysia dan Indonesia tidak memperburuk bencana perdagangan manusia, yang melibatkan warga Bangladesh dan suku Rohingya dari Myanmar.
PBB menyatakan lebih dari 25.000 orang melakukan perjalanan ke selatan dari teluk Benggala antara Januari hingga Maret tahun ini.
Zeid memuji Indonesia, yang mengizinkan 582 pengungsi mendarat pada Minggu, dan Malaysia, yang memungkinkan 1.018 untuk turun pada hari berikutnya, tapi menyatakan kapal lain diusir sejak itu.
"Saya terkejut atas laporan bahwa Thailand, Indonesia, dan Malaysia mengusir perahu penuh pengungsi rentan kembali ke laut, yang akan menyebabkan banyak kematian," katanya.
"Pusat perhatiannya harus pada menyelamatkan nyawa, bukan membahayakan mereka," katanya.
Seruan itu muncul saat lebih dari 750 warga Rohingya dan Bangladesh diselamatkan di lepas pantai Indonesia.
Menurut Abbott, lebih banyak lagi orang akan mati di lautan bila negara-negara di Asia Tenggara dan Afrika Utara tidak mengambil sikap tegas membalikkan perahu ke arah mereka datang.
Seperti dilansir dari harian utama "The Australian", Senin, PM Tony Abbott menyalahkan para pelaku perdagangan manusia terkait dengan melonjaknya volume manusia-manusia perahu.
"Selama pedagang manusia masih ada, akan terus ada kematian di laut. Dan satu-satunya cara untuk menghentikan kematian di laut adalah dengan mengentikan perahu itu dan artinya--saya harus bilang--dengan membalikkan ke arah mereka datang," ujar Abbott.
Ditanya komentarnya tentang kondisi perairan Asia Tenggara yang tengah dilanda krisis manusia perahu asal Bangladesh dan etnis Rohingya dari Myanmar, Abbott menjawab bahwa Australia "sangat senang untuk bisa bekerja bersama negara-negara tetangga mengatasi masalah ini."
Australia akan hadir dalam pertemuan rutin di Bangkok pada 29 Mei mendatang, termasuk duta besar untuk urusan perdagangan manusia, Andrew Goledzinowski.
Abbott mengaku tidak pernah menyesal dengan kebijakan menolak perahu-perahu itu mendarat ke Australia dan melihat sangat wajar bila Indonesia, Malaysia, dan Thailand melakukan hal serupa.
Dalam beberapa pekan terakhir, ratusan pengungsi etnis Rohingya dan warga Bangladesh telah mendarat di Kuala Nongsa, Aceh. Kondisi pengungsi etnis Rohingya sangat memprihatinkan, beberapa di antara mereka tewas akibat kelaparan dan kehausan selama terombang-ambing di lautan.
Kepala badan hak asasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) pada Jumat menyatakan terkejut bahwa tiga negara Asia Tenggara mengusir pengungsi kelaparan, yang sekitar 6.000 di antaranya terdampar di laut.
Zeid Raad Al Husein mendesak Thailand, Malaysia dan Indonesia tidak memperburuk bencana perdagangan manusia, yang melibatkan warga Bangladesh dan suku Rohingya dari Myanmar.
PBB menyatakan lebih dari 25.000 orang melakukan perjalanan ke selatan dari teluk Benggala antara Januari hingga Maret tahun ini.
Zeid memuji Indonesia, yang mengizinkan 582 pengungsi mendarat pada Minggu, dan Malaysia, yang memungkinkan 1.018 untuk turun pada hari berikutnya, tapi menyatakan kapal lain diusir sejak itu.
"Saya terkejut atas laporan bahwa Thailand, Indonesia, dan Malaysia mengusir perahu penuh pengungsi rentan kembali ke laut, yang akan menyebabkan banyak kematian," katanya.
"Pusat perhatiannya harus pada menyelamatkan nyawa, bukan membahayakan mereka," katanya.
Seruan itu muncul saat lebih dari 750 warga Rohingya dan Bangladesh diselamatkan di lepas pantai Indonesia.
Editor: Desy Saputra
Copyright © ANTARA 2015
Tags: