Kutai-Swedia kerja sama kelola sampah jadi energi
18 Mei 2015 02:04 WIB
ilustrasi--Sejumlah siswa SD Aswaja melihat pemilahan sampah di Bank Sampah, Sukun, Malang, Jawa Timur, Rabu (15/4). Kegiatan tersebut merupakan upaya mengenalkan pentingnya bank sampah serta teknologi daur ulang sekaligus menanamkan kecintaan lingkungan kepada sekitar 60 siswa sekolah dasar. (ANTARA FOTO/Ari Bowo Sucipto)
Samarinda (ANTARA News) - Kabupaten Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, menjajaki kerja sama dengan Swedia dalam hal pengelolaan sampah menjadi energi yang akan diterapkan di daerah itu.
Ketua II Pokja Tata Guna Lahan dan Hutan Legalitas Kayu (TGLHLK) dan REDD Kutai Kartanegara, Stepi Hakim, di Tenggarong, Minggu mengatakan, kerja sama tersebut sebagai tindak lanjut pertemuan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari dengan Duta Besar Swedia untuk Indonesia, Ewa Polano, pada Februari 2014.
Dari hasil pertemuan tersebut, dilanjutkan kedatangan dua mahasiswa Swedia dari Uppsala University di Kutai Kartanegara untuk melakukan penelitian terkait pengelolaan sampah sampah menjadi energi listrik.
Dua mahasiswa S2 jurusan Teknik Sipil bidang Energi Swedia yakni, Jon Gezelius dan Johan Torstensson, akan melakukan penelitian sekitar tiga bulan, yakni mulai Mei hingga Juli 2015.
Pada Sabtu (16/5), keduanya menggali informasi di Kecamatan Muara Kaman, yakni di Desa Liang Buaya dan Muara Siran yang terletak di lahan konservasi gambut Kutai Kartanegara dengan didampingi Pokja TGLHLK dan REDD setempat.
"Kami menyambut baik kedatangan dua mahasiswa Swedia tersebut, karena sejalan dengan upaya pelestarian dan pemanfaatan lingkungan yang ramah," katanya.
"Hasil penelitan dua mahasiswa ini bisa menjadi rekomendasi bagi pemerintah dalam pemanfaatan lingkungan dan pengelolaan sampah menjadi energi," tambah Stepi, didampingi Sekretaris Pokja H Hamli.
Energi listrik, lanjut Stepi Hakim, selama ini menjadi salah satu masalah yang dihadapi daerah itu, karena belum semua desa dapat teraliri listrik dari PLN selama 24 jam.
"Luas wilayah Kutai Kartanegara yang mencapai 27.263,10 kilometer persegi atau setara dengan 40 kali Jakarta atau 116 kali luas Kota Solo, Jawa Tengah, sementara di beberapa kecamatan letak desa saling berjauhan dan dibatasi perairan dan hutan, menjadi salah satu kendala pemenuhan listrik bagi masyarakat," ungkap Stepi Hakim.
Beberapa upaya telah dilakukan Pemkab Kutai Kartanegara untuk memecahkan masalah tersebut, salah satunya menjajaki kerja sama dengan Swedia tersebut.
Hal itu, sekaligus upaya kepedulian lingkungan, yakni menjadikan sampah sebagai bahan baku utama energi yang murah dan mudah didapat.
Sementara itu, Jon dan Johan saat bertemu aparat desa Liang Buaya dan Muara Siran menjelaskan, bahwa semua sampah yang bisa terbakar dapat dijadikan bahan baku pembuatan energi listrik, yakni uap hasil pembakaan akan mejalankan turbin pembangkit listrik atau untuk sampah organik dijadikan komposit yang kemudian menghasilkan gas untuk energi.
Sampah organik, kata Jon, yang biasa hanya dijadikan pakan ikan masyarakat sekitar atau sampah plastik dan kayu yang hanya dibakar atau dibuang begitu saja, merupakan potensi untuk dijadikan energi.
"Dari dua desa yang kami lihat ini, jenis sampah dari kayu volumenya lebih banyak dan tentunya kayu mudah terakar dan sangat cocok menjadi bahan baku energi," ungkap Jon.
Dalam penelitiannya, Jon dan Johan juga menggali informasi mengenai sumber energi listrik yang saat ini dipakai oleh masyarakat, kebutuhan energi listrik perhari tiap rumah serta biaya untuk mendapatkan energi tersebut.
"Jika kami mengetahui seluruh kebutuhan listrik di Kutai Kartanegara, kami akan bisa menghitung berapa volume sampah yang diperlukan untuk dijadikan energi," ujar Jon.
Sementara Kepala Desa Muara Siran Khairil dan Pj Kades Liang Buaya Ardian, mengatakan limbah kayu di desanya sangat banyak dan belum dimanfaatkan.
Untuk itu mereka berharap hasil penelitian tersebut dapat diwujudkan pemerintah untuk membangun pembangkit listrik dengan bahan baku sampah karena warga mereka saat ini hanya menikmati listrik pada malam hari yang berasal dari pembangkit tenaga diesel yang dirasakan warga cukup mahal secara swadaya memenuhi bahan bakarnya.
Ketua II Pokja Tata Guna Lahan dan Hutan Legalitas Kayu (TGLHLK) dan REDD Kutai Kartanegara, Stepi Hakim, di Tenggarong, Minggu mengatakan, kerja sama tersebut sebagai tindak lanjut pertemuan Bupati Kutai Kartanegara Rita Widyasari dengan Duta Besar Swedia untuk Indonesia, Ewa Polano, pada Februari 2014.
Dari hasil pertemuan tersebut, dilanjutkan kedatangan dua mahasiswa Swedia dari Uppsala University di Kutai Kartanegara untuk melakukan penelitian terkait pengelolaan sampah sampah menjadi energi listrik.
Dua mahasiswa S2 jurusan Teknik Sipil bidang Energi Swedia yakni, Jon Gezelius dan Johan Torstensson, akan melakukan penelitian sekitar tiga bulan, yakni mulai Mei hingga Juli 2015.
Pada Sabtu (16/5), keduanya menggali informasi di Kecamatan Muara Kaman, yakni di Desa Liang Buaya dan Muara Siran yang terletak di lahan konservasi gambut Kutai Kartanegara dengan didampingi Pokja TGLHLK dan REDD setempat.
"Kami menyambut baik kedatangan dua mahasiswa Swedia tersebut, karena sejalan dengan upaya pelestarian dan pemanfaatan lingkungan yang ramah," katanya.
"Hasil penelitan dua mahasiswa ini bisa menjadi rekomendasi bagi pemerintah dalam pemanfaatan lingkungan dan pengelolaan sampah menjadi energi," tambah Stepi, didampingi Sekretaris Pokja H Hamli.
Energi listrik, lanjut Stepi Hakim, selama ini menjadi salah satu masalah yang dihadapi daerah itu, karena belum semua desa dapat teraliri listrik dari PLN selama 24 jam.
"Luas wilayah Kutai Kartanegara yang mencapai 27.263,10 kilometer persegi atau setara dengan 40 kali Jakarta atau 116 kali luas Kota Solo, Jawa Tengah, sementara di beberapa kecamatan letak desa saling berjauhan dan dibatasi perairan dan hutan, menjadi salah satu kendala pemenuhan listrik bagi masyarakat," ungkap Stepi Hakim.
Beberapa upaya telah dilakukan Pemkab Kutai Kartanegara untuk memecahkan masalah tersebut, salah satunya menjajaki kerja sama dengan Swedia tersebut.
Hal itu, sekaligus upaya kepedulian lingkungan, yakni menjadikan sampah sebagai bahan baku utama energi yang murah dan mudah didapat.
Sementara itu, Jon dan Johan saat bertemu aparat desa Liang Buaya dan Muara Siran menjelaskan, bahwa semua sampah yang bisa terbakar dapat dijadikan bahan baku pembuatan energi listrik, yakni uap hasil pembakaan akan mejalankan turbin pembangkit listrik atau untuk sampah organik dijadikan komposit yang kemudian menghasilkan gas untuk energi.
Sampah organik, kata Jon, yang biasa hanya dijadikan pakan ikan masyarakat sekitar atau sampah plastik dan kayu yang hanya dibakar atau dibuang begitu saja, merupakan potensi untuk dijadikan energi.
"Dari dua desa yang kami lihat ini, jenis sampah dari kayu volumenya lebih banyak dan tentunya kayu mudah terakar dan sangat cocok menjadi bahan baku energi," ungkap Jon.
Dalam penelitiannya, Jon dan Johan juga menggali informasi mengenai sumber energi listrik yang saat ini dipakai oleh masyarakat, kebutuhan energi listrik perhari tiap rumah serta biaya untuk mendapatkan energi tersebut.
"Jika kami mengetahui seluruh kebutuhan listrik di Kutai Kartanegara, kami akan bisa menghitung berapa volume sampah yang diperlukan untuk dijadikan energi," ujar Jon.
Sementara Kepala Desa Muara Siran Khairil dan Pj Kades Liang Buaya Ardian, mengatakan limbah kayu di desanya sangat banyak dan belum dimanfaatkan.
Untuk itu mereka berharap hasil penelitian tersebut dapat diwujudkan pemerintah untuk membangun pembangkit listrik dengan bahan baku sampah karena warga mereka saat ini hanya menikmati listrik pada malam hari yang berasal dari pembangkit tenaga diesel yang dirasakan warga cukup mahal secara swadaya memenuhi bahan bakarnya.
Pewarta: Amirullah
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2015
Tags: