Perth (ANTARA News) - Dalam satu forum kerja sama geopolitik dan perdagangan internasional yang digelar di Perth, Australia Barat, Jumat, bahasan tentang ketegangan politik antara dua negara bertetangga Indonesia dan Australia menjadi salah satu topik kunci.
Eksekusi mati terhadap dua warga negara Australia dua hari lalu telah memaksa Australia menaik duta besarnyaa dari Jakarta dan memicu desakan boikot terhadap Bali dan Indonesia.
Namun, apakah ini seburuk yang diberitakan koran-koran Australia?
Hadir dalam sesi yang dipandu jurnalis kawakan harian The Australian Paul Kelly itu tiga narasumber yang kompeten membahas ketegangan Indonesia-Australia pada forum "In The Zone 2015".
Stephen Smith (mantan menteri luar negeri dan Menteri Pertahanan Australia), Profesor Krishna Sen (peneliti politik dan media massa Indonesia) serta Gordon Flake (CEO Perth USAsia) memaparkan pandangannya dan strategi menghadapi ketegangan ini.
"Saya tidak percaya bila keputusan untuk mengeksekusi adalah sebuah serangan Indonesia terhadap Australia," ujar Stephen Smith yang juga Direktur Perth USAsia Centre.
Menurut akademisi Universitas Western Australia (UWA) itu, Australia sebagai negara dengan populasi sedikit harus mendekati negara-negara di kawasan seperti India, Tiongkok, Indonesia, ASEAN, dan Afrika demi kepentingan jangka panjang.
Pada 2050, Indonesia akan menjadi negara dengan populasi terbanyak keempat di dunia di bawah Tiongkok, India, dan Amerika Serikat.
"Bila hubungan kita tidak bagus dengan Indonesia, maka kelak ketika Indonesia menjadi pasar terbesar keempat di dunia, Australia tidak akan memperoleh keuntungan seperti yang kita punya sekarang," kata dia.
Secara hukum, lanjut dia, orang Indonesia melihat ini adalah masalah yang jelas. Hukum di Indonesia memang mengancam mati pengedar narkoba, sementara di Australia hukuman mati baru dihapuskan pada 1985 dan resmi menjadi pandangan politik nasional pada 1990-an.
Dalam satu wawancara pada 2012, Perdana Menteri Australia Tonny Abbott yang saat itu pemimpin partai oposisi, mengaku setuju dengan hukuman mati terhadap pembunuh massal, meskipun ia dan partainya tidak berencana menghidupkan kembali hukuman mati di Australia.
Saat itu Tonny Abbott berpandangan bahwa pembunuh berdarah dingin yang membunuh ratusan orang patut dihukum paling keras, yaitu hukuman mati.
Pandangan publik di Indonesia dan Australia tentang hukuman mati juga beragam, dan ini telah menjadi komoditas politik, baik buat politisi di Indonesia maupun di Australia.
"Saya perkirakan sekitar 25-30 persen orang di Indonesia tidak setuju dengan hukuman mati, dan banyak organisasi di Indonesia yang memperjuangkan penghapusan hukuman mati," ujar Krishna Sen yang adalah profesor kajian Indonesia dan Dekan Faculty of Arts UWA.
Tapi sekali lagi, publik Indonesia dan Australia itu sangat beragam. Menyamakan semua orang ke dalam satu pernyataan politik tidaklah bijak.
Sebagai Presiden yang baru, Joko Widodo memiliki pendekatan yang berbeda terhadap eksekusi mati bagi warga Australia. Berbeda dari peminpin pendahulunya, Soesilo Bambang Yudhoyono. "Kita harus pahami konteks latar belakang partai politik serta pandangan ekonomi ultranasionalisnya," ujar Krishna yang fasih berbahasa Indonesia ini.
Hal senada disampaikan Gordon Flake, warga Amerika Serikat yang memimpin pusat kajian kerja sama kawasan Amerika dan Asia berbasis di Perth.
"Ketika orang Australia protes mengapa pengumuman eksekusi mati dilakukan pada ANZAC Day, lalu muncul semacam nuansa nasionalime yang terbakar di sebagian hati orang Australia, saya tidak bisa memahami kenapa hal itu harus menjadi hal yang signifikan? Saya saja tidak tahu hari libur atau hari besar di Indonesia. Jadi kita harus melihat masalah ini dari konteks yang lebih besar," ujar Gordon.
Dari perspektif jangka panjang, Indonesia terlalu penting untuk diabaikan Australia.
Ketika melihat Indonesia, orang Amerika, Jepang, India, dan Tiongkok menatapnya sebagai "peluang", "peluang", dan "peluang", ujar pria yang berpuluh tahun terlibat dalam riset kajian Semenanjung Korea itu.
"Jumlah penduduk yang besar, dengan kelas menengah yang akan melampaui 100 juta pada 2050, Indonesia adalah pasar yang luar biasa besar," kata dia menjelaskan proyeksi pertumbuhan populasi dan pasar di Indonesia.
Khusus untuk kepentingan geopolitik dan perdagangan internasional, dalam 25 tahun ke depan, fokus Australia terhadap kawasan Indo-Pasifik adalah India, Indonesia, dan ASEAN.
Ekonomi, perdagangan, sumber daya alam, investasi, dan populasi, itu semua adalah peluang yang bisa dimanfaatkan Australia dari hubungan baik dengan Indonesia, tegasnya.
Ia mengaku, sebagian besar sumber ketegangan Indonesia-Australia akhir-akhir ini disebabkan oleh pemberitaan media massa dan reaksi publik. Persepsi yang berkembang adalah orang Australia hanya dihukum mati di Indonesia, padahal hukuman ini juga terjadi di Tiongkok.
"Dan saya akan sangat terkejut bila reaksinya akan sama bila hukuman mati ini dilakukan oleh Tiongkok," katanya.
Standar ganda yang tengah ditunjukkan oleh Australia ini juga menjadi poin yang harus diperbaiki.
"Kita harus menempatkan isu penghapusan hukuman mati sebagai salah satu agenda kerja sama bersama negara-negara yang lain, karena saat ini media di Indonesia mempertanyakan di mana Australia ketika negara-negara lain melakukan eksekusi mati terhadap non warga Australia?" timpal Krishna Sen.
Lebih lanjut ia menyarankan Australia harus mulai melihat kampanye penghapusan hukuman mati sebagai agenda kerja sama, dan agenda ini patut tercermin pada strategi bantuan-bantuan internasional, baik bilateral maupun multilateral.
"Jika Australia bisa memainkan (isu ini) dengan benar, maka Australia akan menjadi contoh atau model buat kawasan. Namun bila hanya berkutat di isu hukuman mati dan mengaitkannya dengan hubungan bilateral saja, maka jelas ini tidak akan berhasil," ujar Gordon.
Ketegangan Jakarta-Canberra dengan penarikan Duta Besar Australia dari Indonesia yang tidak dibalasa Indonesia adalah juga pembelajaran bagi politisi di Australia, kata dia.
Saat ini, orang Australia sedang beradaptasi dengan jenis demokrasi baru di Indonesia. Presiden Indonesia yang sekarang Joko Widodo, adalah orang yang bertindak berdasarkan opini publik, sangat berbeda dengan presiden sebelumnya yang kebijakannya sedikit banyak mendapat pengaruh dari politisi Australia.
"Australia terbiasa mempunyai pengaruh yang lebih besar terhadap politisi Indonesia. Tapi sekarang mereka bergerak berdasarkan opini publik, jadi di sinilah contoh bagaimana demokrasi bisa mempersulit diplomasi," kata Gordon.
Sebagai tetangga terdekat Indonesia, jauh lebih dekat dari pada Amerika Serikat, Australia tergolong kurang memahami, bahkan terkesan acuh terhadap masyarakat Indonesia.
"Ini adalah momen di mana pengertian di antara dua negara harus kembali diperbaiki agar menjadi lebih baik dan mendalam demi kepentingan bersama," tambah Gordon.
Oleh karena itu, sekali lagi, Indonesia tetap terlalu penting untuk diabaikan Australia.
Indonesia terlalu penting untuk Australia
1 Mei 2015 17:02 WIB
Presiden Joko Widodo dan Perdana Menteri Australia Tony Abbott di Istana Merdeka, Jakarta, Senin (20/10/2014) (ANTARA/Widodo S. Jusuf)
Oleh Ella Syafputri
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2015
Tags: